BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
kemanusiaan semakin rumit. Padahal telah banyak catatan dan kisah yang
menceritakan revolusi-revolusi yang ingin menghancurkan kebobrokan kemanusiaan
dan membangun kemanusiaan baru. Akan tetapi, semuanya seperti sebuah cerita yang hambar, karena yang
dihancurkan tampaknya tidak hancur seluruhnya dan yang dibangun tidak semuanya
mengesankan.
Kita
melihat, jika hari ini para buruh menuntut dan protes tentang hak mereka, besok
akan muncul protes tentang masalah agama di Cina. Kalau kemarin orang mengutuk
pemerintah Cina yang tidak menghargai agama Islam, sekarang akan ada protes
tentang hasil pemilu. Jika sekarang berteriak tentang problem pemilu, besok
barang kali kita akan menemukan masalah yang baru. Semua ingin memeriakkan hal
yang berbeda setiap harinya. Dan itu disebabkan banyaknya dari kita tidak
mengakui adanya nilai kemanusiaan yang universal.
Manusia
sejatinya ditempatkan pada posisi mulia, dihormati sebagaimana setiap manusia
menghormati diri sendiri. Namun, dalam dunia kita sekarang ini, kita sering
egois, tidak peduli masalah yang ada disekitar kita. Komunitas basis tampak
tidak relevan untuk zaman kita sekarang ini. kita tidak pernah menyadari bahwa
sesungguhnya kita ada dan lahir dari satu kemanusiaan , yaitu kemanusiaan
universal yang tak seharusnya berpisah menjadi partikular.
Kita juga
tahu perubahan itu berasal dari yang partikular. Akan tetapi, perubahan yang
sesungguhnya tidak akan pernah terjadi jika hanya dilakukan seorang yang lemah,
artinya jika kita merasa berdiri sendiri. Kita harus punya rasa “satu
kemanusiaan”.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa definisi
dari kemanusiaan universal?
2. Bagaimana proses pemikiran humanisme dalam kontruksi
kebangsaan Indonesia?
3. Apa dasar
adanya nilai kemanusiaan dalam perumusan pancasila?
4. Usaha apa
saja yang dilakukan untuk membumikan kemanusiaan dalam kerangka pancasila?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Kemanusiaan Universal
Kemanusiaan universal adalah bahwa manusia dibekali akal dan pikiran untuk
melakukan segala kegiatan. Oleh karena itulah manusia menjadi makhluk yang
paling sempurna dari semua makhluk cipaanNya. Memiliki harkat dan martabat yang
sama sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, mempunyai persamaan derajat,
persamaan hak dan kewajiban.
B.
Perpektif
Historis Pemikiran Humanisme dalam Kontruksi Kebangsaan Indonesia
Sebelum negara Indonesia terbentuk
pada 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan. Awal abad
ke-16 bangsa Eropa seperti Belanda mulai masuk ke Indonesia dan terjadilah
perubahan politik kerajaan yang berkaitan dengan perebutan daerah. Kontak
dengan bangsa Eropa telah membawa perubahan-perubahan dalam pandangan
masyarakat yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalisme,
demokrasi, nasionalisme. Hingga sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan
jiwa Nasionalisme dan bersatu untuk merdeka(Ahmad, 2000: 45).
Sebagai tindakan lanjut dari janji
Kaisar Hirohito yang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia maka
dibentuklah suatu badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan
kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan nama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Muhammad Yamin, Soepomo, Moh. Hatta, dan Soekarno berpidato
guna membahas tentang rancangan usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI.
Setelah sidang tersebut dibentuklah panitia kecil yaitu panitia sembilan.
Panitia sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan
yang dituangkan dalam Mukadimah Hukum Dasar. Pada sidang kedua BPUPKI tgl 10
Juli 1945 dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar dan penjelasannya.
Sidang kedua ini juga berhasil menentukan bentuk negara Indonesia yaitu
Republik. Seiring berjalannya waktu, dibentuklah PPKI yang bertugas melanjutkan
tugas BPUPKI.
Seiring dengan kekalahan Jepang, para
pemuda mendesaak agar kemerdekaan dilaksanakan secepatnya tanpa menunggu
persetujuan dari jepang. Dan pada akhirnya Soekarno-Hatta bersedia
memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama
bangsa Indonesia (Junanto, 2012: 67).
Sehari setelah Indonesia merdeka,
PPKI mengadakan sidang pertamanya. Dalam sidang tersebut terdapat perubahan
yang telah dilakukan yaitu perubahan pada sila pertama (tujuh buah kata
dihilangkan dan diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa) dan beberapa perubahan
pada rancangan UUD. Pada saat itu juga Pembukaan Undang-Undang Dasar dan
pasal-pasal UUD disahkan menjadi Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia.
Pada sidang tersebut juga menetapkan Ir. Soekarno dan Moh.Hatta sebagai
presiden dan wakil presiden Indonesia. Selanjutnya sidang tersebut juga
membicarakan rancangan aturan peralihan.
Dalam pidato Soekarno jelas
terlihat bahwa Pancasila ini merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran
yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme yang
dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur
Tengah. Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa salah satu atau
lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara
sebelumnya seperti yang dinyatakan Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari
pernyataan dalam pidato ini adalah bahwa spiritualitas yang menjadi domain
kedaulatan masyarakat pasca kolonial menjadi bermasalah ketika digunakan untuk
mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi
nasional.
Masalah tersebut muncul karena ketika kita mencari akar spiritualitas yang
diklaim sebagai produk alamiah, yang kita temukan sekali lagi adalah hasil
konsep-konsep Barat yang direpresentasikan sebagai sesuatu yang berakar pada
budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep
gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi
jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme (
Ahmad, 2000: 66).
Argumen di atas menunjukkan bahwa
nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pasca
kolonial jauh lebih kompleks dari pada nasionalisme Timur dan Barat maupun dari
spiritualitas Timur sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pasca
kolonial mampu membangun autentitasnya (kealamiahannya). Artinya, domain
spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh elemen-elemen
yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan kolonialisme.
Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara alami pada budaya lokal
tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil
satu kesimpulan yang tentunya masih dapat diperdebatkan, inspirasi utama. bahwa
Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang
menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat
modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber (Much. Abdul, 2012: 35).
C. Nilai Kemanusiaan dalam Perumusan Pancasila
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan
Beradab dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide
Pancasila Bung Karno yang hidup di masa penjajahan Belanda merasa
ada perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah Belanda terhadap bangsa
pribumi atau mayoritas bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu
dan lain cara.
Jadi dalam alam kemerdekaan sudah seharusnya bangsa
Indonesia memperlakukan sesama manusia secara manusiawi, secara adil, dan tidak
meniru model penjajahan manusia oleh manusia yang berasal dari budaya masa lalu
yang masih biadab. Subtansi ini juga tercermin pada paragraf awal dari
pembukaan UUD yang berbunyi: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak
segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kita sebagai manusia diharapkan memperlakukan manusia
yang lain seperti kita memperlakukan diri kita sendiri (dalam bahasa yang
berbeda masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipastikan
mempunyai sikap hidup seperti ini). Oleh karena itu bisa juga dikatakan
bahwa Kemanusian Yang Adil dan beradab digali dari budaya bangsa
Indonesia sendiri ( Muhammad, 2001: 34).
Pada bahasa modern-nya Kemanusian Yang Adil dan
Beradab juga bisa diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia
yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bangsa
Indonesia sudah seharuskan menghargai Universal Declaration of Human Rights
(UDHR), yang dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 December, 1948 dan Hak Asasi
Manusia atau Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab kemudian secara operational
dijabarkan dalam UUD ’45 pasal-pasal tentang HAM yaitu Bab XA yang secara
komprehensif telah disisipkan pada amandemen ke 2 UUD’45 tahun 2000 dari Pasal
28A s/d Pasal 28J .
Pelaksanaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
yang diartikan sebagai penghormatan Bangsa dan Negara terhadap Hak Asasi
Manusia harus dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum amandemen 2 tahun
2000 dan sesudahnya. Karena penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia secara
formal yuridis punya kekuatan hukum dalam konstitusi baru mulai tahun 2000.
Walaupun esensi Kemanusian Yang Adil dan Beradab memang sudah ada sejak ada
pada UUD’45 pada pembukaan UUD’45 dan secara umum di pasal 27 dan 28.
Sebagai anggota PBB tentu Indonesia harus juga patuh
pada deklarasi hak asasi manusia yang dicanangkan oleh PBB. Tapi realitasnya
pada fase pemerintahan Bung Karno dan apalagi pada masa pemerintahan Soeharto
banyak sekali peristiwa yang baik pemerintah maupun rakyat Indonesia sama
sekali tidak menghiraukan hak asasi manusia.
Hal ini disebabkan sosialiasi deklarasi hak asasi
manusia versi PBB tidak pernah dilakukan oleh pemerintah saat itu, tidak pernah
diwajibkan baik kalangan pemerintah maupun rakyatnya untuk mempelajari atau
mentaati deklarasi hak asasi manusia versi PBB, yang mempelajari hanya terbatas
sebagian kecil praktisi hukum maupun LSM yang bergerak dibidang perlindungan
HAM.
Seolah-olah pemerintah saat itu melakukan pembenaran
melakukan pelanggaran HAM dikarenakan tidak punya landasan yang kuat yang
tercantum di konstitusi atau UUD’45 sebelum amandemen ke 2, tahun 2000. Sebetulnya
setelah amandemen ke-2 UUD’45, tahun 2000, tidak ada alasan lagi bagi para
pejabat pemerintah terutama para penegak hukumnya maupun rakyat Indonesia
secara keseluruhan untuk tidak mempelajari dan mentaati UUD’45 bab XA tentang
HAM ditambah juga keharusan untuk mempelajari dan mentaati deklarasi HAM versi
PBB. Hal ini sangat diperlukan karena sifat pelanggaran HAM bisa bersifat
vertikal yang umumnya terjadi antara pemerintah yang punya kekuasan terhadap
rakyat atau sebaliknya dan juga bisa bersifat horisontal yaitu yang terjadi
antara sesama anggota masyarakat baik secara organisasi atau bersifat pribadi.
Dalam
penghayatan Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang paling penting dan tidak
pernah bisa dijalankan oleh pemerintah adalah supremasi hukum yang tidak
pandang bulu seperti diamanatkan oleh UUD ’45 pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan,
perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan
hukum.
D. Usaha
Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila
Prinsip dari pancasila mencerminkan kesadaran
bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Berada di titik
strategis persilangan antar benua dan samudra, Indonesia menjadi pelebur antar
peradapan yang tidak pernah berhenti menerima pengaruh global, baik yang
bersifat positif konstruktif maupun yang negatif-destruktif.
Besarnya kontribusi antar peradaban dalam formasi
kebangsaan Indonesia, membuat bangsa Indonesia merasa berterima kasih kepada
kemanusiaan universal (humanity) yang
mendorongnya berperan aktif dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan baik dalam
pergaulan antar bangsa maupun dalam pergaulan nasional (Junanto, 2012: 234).
Merasakan kepedihan dan penderitaan sebagai
bangsa yang terjajah selama ratusan tahun lamanya, Indonesia terpanggil untuk
melawan sisi negatif-destruktif dari bangsa-bangsa yang merendahkan martabat
kemanusiaan sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia dipandang
sebagai revolusi kemanusiaan. Lebih jauh lagi, dalam pidato Bung Hatta yang
tersohor di depan sidang pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, Bung Hatta juga
menampilkan wacana tentang “prinsip kesamaan” kemanusiaan antar bangsa. Wacana
ini juga dilancarka oleh Soewardi Soerjaningrat kala menulis Als
Ikeens Nederlander Was atau oleh Bung Karno kala menyampaikan risalahnya
yang terkenal” Indonesia menggugat” pada tahun 1926.Bung Hatta bahkan telah
melontarkan kritik tajam mengenai pelanggaran kemanusiaan. Di zaman itu,
bangsa-bangsa Eropa dengan berbagai cara memang selalu mengumandangkan
superioritasnya atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Penjajahan senantiasa
bertumpu di atas asumsi perbedaan derajat antar bangsa. Sebaliknya,
bangsa-bangsa terjajah yang ingin melawan sosok penjajah itu bertumpu diatas
asumsi kesederajatan antar bangsa egalitarianisme antar umat manusia ( Noor,
2006: 98).
Maka tidak mengherankan
kalau spirit humanitarianisme dan egalitarianisme itu pun muncul
bersamaan dengan spirit nasionalisme yang tumbuh dalam alam pikir yang tengah
bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan
derajat atau superioritas suatu bangsa di atas bangsa yang lain. Spirit itu
kemudian tercermin pada pembukaan UUD 1945. Hal pertama yang dinyatakan dalam
pembukaan tersebut adalah mengaitkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan
kemanusiaan universal. Dalam alinea pertama dikatakan “ Bahwa sesungguhnya
kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu , maka penjajahan di
atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan(Yudhi, 2011: 237).
Rangkaian kata itu menunjukkan sikap kosmopolitan
adalah seruan lantang pesan egalitarianisme dari sebuah bangsa yang baru
menyatakan kemerdekaannya. Sejak berdirinya republik ini, para pendiri bangsa
telah menekankan unsur-unsur penting yana harus dijunjung tinggi oleh sebuah
bangsa yang merdeka dan beradab, yakni: kemanusiaan, keadilan, dan penghargaan
antar bangsa yang berarti pula penghormatan terhadap internasionalisme. “kita
bukan saja harus mendirikan negara
Indonesia merdeka, tetapi kita harus Menuju pula kepada
kekeluargaan bangsa-bangsa,”kata Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Dengan demikian, sejak awal berdirinya , Indonesia
dibangun atas kesadaran internasionalisme. Tetapi paham internasionalisme itu
juga diberi sentuhan dan bobot spirit egalitarianisme. Kesadaran akan kesamaan
dan kesederajatan antar bangsa yang dilandasi oleh penghargaan atas martabat
manusia dan saling hormat antar sesama warga negara dan umat manusia. Karena
itu, dengan tegas hendak diperjuangkan kesadaran bahwa penjajahan harus
dihapuskan dan ketidakadilan harus disingkirkan.
Nasionalisme Indonesia, memperjuangkan kesamaan
kemanusiaan. Nasionalisme yang berperikemanusiaan inilah yang akhirnya secara
utuh dan cemerlang dalam (sila kedua)
pancasila. Dalam rumusan sila kedua, cita-cita kemanusiaan menjadi jiwa kemerdekaan.
Hal ini sejalan dengan semangat dan prinsip para pendiri bangsa. Pemikiran
mereka kebanyakan cenderung tentang kemanusiaan. Pada diri Bung Karno,
terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan dan kegotong-royongan. Pada
sosok Muhammad Hatta, terjelma personifikasi cita-cita kedaulatan rakyat dan
egalitarianisme. Pada diri Tan Malaka, tampak sesososk ideal Indonesia yang
bebas. Pada diri Natsir, terpancar ideal Indonesia yang religius. Penghargaan
yang tinggi terhadap cita-cita kemanusiaan yang berbudaya dan beradab adalah
pancaran dari pikiran-pikiran mereka yang cemerlang mengenai Indonesia seperti
apa yang diidamkan. Kebanyakan dari perdebatan mereka pada awal kemerdekaan
menunjukkan bahwa mereka adala bangsa yang cinta damai dan sekaligus cinta
kemerdekaan. Mereka tidak hanya berbicara tentang bentuk negara ideal dan arah
yang akan dituju, tetapi mereka juga memikirkan dalam-dalam bagaimana bangsa
Indonesia bisa tumbuh sebagai pribadi yang menjadi warganegara yang berbudaya
dan bisa mengembangkan potensi dan kapasitas dirinya di pentas dunia (Muhammad,
2001: 77).
Sebagai falsafah negara yang menjiwai konstitusi
kita, pancasila merupakan lambang sejarah yang membela prinsip kesamaan.
Prinsip kesamaan dan kesederajatan dalam hubungan antar manusia dan antarbangsa
itu adalah jiwa dari sila kemanusiaan. Demi tegaknya persamaan kemanusiaan
dalam pergaulan nasional dan antar bangsa, kata kemanusiaan dalam sila kedua
itu mengandung sifat yang mulia yakni adil sekaligus juga beradab. Relasi kemanusiaan
antar bangsa harus dilandaskan pada niai-nilai kesederajatan sebagai makhluk
Tuhan dan menjunjung nilai-nilai keadaban sebagai capaian-capaian terpuji dari
peradaban manusia.
Dalam rangka memenuhi sifat adil, Bung Hatta
mengingatkan,yang harus disempurnakan dalam pancasila, ialah kedudukan manusia
sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena
itu pula sila kemanusiaan yang adil dan
berdab langsung terletak dibawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus
dilaksanakan dalam pergaulan hidup dalam segala hubungan manusia satu sama lain
harus berlaku rasa persaudaraan. Persaudaraan itu menembus batas nasional, yang
meliputi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan dalam pergaulan antar bangsa.
Kalimat kemanusiaan yang adil dan beradab adalah satu kesatuan yang harus
diucapkan dalam satu tarikan nafas, untuk bisa memahaminya secara utuh,
kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini adalah
kemanusiaan yang adil dan beradab dalam berbagai hal ( Yudhi, 2011: 58).
Sila kedua
menunjukkan kepada nilai-nilai dasar manusia yang diterjemahkan dalam hak asasi
manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis
serta adil. Nilai- nilai manusiawi merupakan dasar dari apa yang sekarang
disebut sebagai hak asasi manusia. Semuanya itu terkait dengan hakikatnya
sebagai manusia bukan karena keanggotaanya dalam suatu kebudayaan. Kini, hanya
bangsa yang menghargai hak-hak asasi manusialah yang dianggap sebagai bangsa
yang beradab, bahkan perilaku beradab dari berperikemanusiaan menjadi wujud
standar bagi keanggotaan dalam masyarakat internasional.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesinpulan
Kemanusiaan universal adalah bahwa
manusia memiliki harkat dan martabat sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa,
mempunyai persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban. bahwa Pancasila ini
merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa yang
pernah menjajah Indonesia, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme yang
dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur
Tengah. Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang
menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat
modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber.
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan
Beradab dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide
Pancasila Bung Karno yang hidup di masa penjajahan Belanda merasa
ada perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah Belanda terhadap bangsa
pribumi atau mayoritas bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu
dan lain cara. Usaha untuk membumikan kemanusiaan dalam kerangka pancasila
adalah dengan menumbuhkan spirit nasionalisme dalam alam pikir yang tengah
bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan
derajat, kesadaran akan kesamaan dan kesederajatan antar bangsa yang dilandasi
oleh penghargaan atas martabat manusia dan saling hormat antar sesama warga
negara dan umat manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam
Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: Press.
Bakry, Noor. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Choir, Much Abdul. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan di Pergurun
Tinggi. Sukoharjo: Pustaka Abadi Sejahtera.
Junanto, Subar. 2012. Pendidikan Pancasila. Surakarta: Pustaka
Media.
Lathif, Yudhi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan
Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Ubaidillah, Ahmad. 2000. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan
Masyarakat Madani. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press.
by Unknown
Jumat, 20 September 2013
9 Juni 2016 pukul 23.56
Di era yang semakin liberal meningkatkan sisi kemanusiaan kepada siswa sangat penting, dengan contoh langsung dilapangan untuk menumbuhkan kepedulian