PERBEDAAN PENDAPAT DAN ALIRAN-ALIRAN FIQIH


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar dalam kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Islam, paling tidak ini menunjukkan kerealistisannya sebagai sebuah agama yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya dalam hal tingkat kemampuan, pengetahuan dan pemahaman. Setelah masa-masa kenabian perbedaan pola pandang di kalangan sahabat sering terjadi, akan tetapi perbedaan tersebut tidak timbul dari kelemahan akidah, atau keraguan terhadap kebenaran ajaran Rasulullah saw, melainkan semata-mata karena keinginan yang kuat untuk merumuskan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
            Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah atau ijtihadiyah, yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi saw, namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan, dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan yang berpindah-pindah dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dengan masa yang lainnya. Namun di sana terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur berbeda.     
Karena banyaknya kelompok yang bermunculan, maka metode pemikiran juga semakin banyak, yang mana setiap aliran mempunyai pijakan-pijakan atau kaidah-kaidah tersendiri yang digunakan dalam berinteraksi dengan teks-teks agama serta menafsirkan sumber-sumber syari’at dan menyikapi berbagai problem baru yang muncul.

      B.  Rumusan Masalah
1.      Apa saja penyebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat Nabi saw, tabi’in, dan para ulama fiqih?
2.      Apa saja aliran –aliran dalam fiqih?
3.      Bagaimana cara menyingkapi aliran-aliran dalam fiqih?



BAB II
PEMBAHASAN

         A. Perpedaan Pendapat Dalam Fiqih

Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata Ikhtilaf atau Khilaf. Perbedaan pendapat dalam fiqih merupakan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan akal pikiran, karena bila ditinjau dari sebab-sebabnya secara global, perbedaaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang disebabkan akal pikiran. Perbedaan yang disebabkan moral biasanya dikarenakan terlalu menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan seksama dan teliti, seperti Su’uzhon dengan orang lain, fanatik terhadap pendapat seseorang atau mazhab dan golongan tertentu.
Adapun perbedaan yang disebabkan akal pikiran adalah perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan dalam cabang-cabang syari’at Islam, atau bersifat aqidah, dan lain-lain. Perbedaan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh sampingan yang mempengaruhi akal seperti lingkungan, zaman, situasi, dan kondisi. Maka perbedaan dalam fiqih merupakan sesuatu yang pasti terjadi, karena tabiatnya agama, bahasa, manusia juga tabiatnya alam kehidupan.
Perbedaan dalam fiqih ini, tidak hanya dianggap sebagai hal yang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta karun warisan yang amat berharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah peninggalan yang bisa dijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqih itu sendiri di masa-masa mendatang, juga bahan pertimbangan dan masukan yang tidak sedikit nilainya. Perbedaan dalam fiqih dengan banyaknya mazhab ini tidak bisa dilepaskan secara historis dari masa-masa lampau, ketika masa para sahabat Nabi saw, tabi’in dan seterusnya sampai terbentuknya berbagai macam mazhab fiqih, sehingga masa sekarang ini, dimana taqlid kepada salah satu mazhab atau beberapa mazhab masih diperlukan, walau ijtihad tetap boleh dilakukan. Berikut ini adalah beberapa contoh perbedaan pendapat dan sebab-sebabnya.

1.    Kalangan Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw
Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi saw dalam berbagai bidang, khususnya hukum islam sangat nyata dan luas sepeninggal Nabi saw, namun bukan  berarti ketika Nabi saw masih hidup tidak ada perbedaan antara mereka dalam masalah-masalah hukum. Satu contoh kasus adalah: sebuah riwayat hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw pada saat perang Ahzab: “memerintahkan agar para sahabatnya tidak melakukan sholat Ashar kecuali di kampung Bani Quraizhoh”. Sebagian diantara mereka ada yang masih dalam perjalanan dan telah tiba waktu sholat Ashar, maka diantara mereka ada yang berpendapat bahwa shalat Ashar harus dilakukan di Kampung Bani Quraizhoh (karena Rasul saw melarangnya kecuali telah sampai di tempat itu), sedangkan sebagian yang lain melakukan shalat Ashar di perjalanan. Perbedaan pendapat tersebut disampaikan kepada Rasulallah saw dan beliau tidak mencela salah satu dari kedua kelompok tersebut, artinya beliau membenarkan keduanya.
Perbedaan antara para sahabat Nabi saw dalam masalah fiqih semakin nampak dan meluas, karena mereka tidak memiliki tempat bertanya dan meminta fatwa setelah Nabi Muhammad saw wafat, padahal islam semakin tersebar luas ke berbagai penjuru dunia yang juga berdampak pada banyaknya persoalan baru yang tidak didapat nashnya dalam Al-qur’an dan al-sunnah. Hal inilah yang mendorong al-Khulafa al-Rasyidun dan sahabat Nabi saw lainya untuk berijtihad guna menetapkan hukum yang jelas bagi berbagai permasalahan yang ada.
Di antara perbedaan pendapat yang terjadi pada masa sahabat Nabi saw sepeninggal Nabi saw adalah seperti perbedaan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam hal memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, antara beberapa sahabat Nabi saw dalam hal meng-qishas sekelompok orang yang telah membunuh satu orang.

2.    Kalangan Tabi’in (Pengikut-pengikut para Sahabat Nabi)
Perbedaan pendapat pada masa ini disebabkan para tabi’in belajar dari beberapa sahabat yang berbeda dengan berbagai macam pendapat yang berbeda pula, maka tidak heran jika kemudian ijtihad-ijtihad fiqih pada masa tabi’in ini akan berbeda pula satu dengan yang lainya. Pada masa ini perbedaan pendapat yang ada lebih banyak dipicu oleh pertentangan antara dua kelompok, yaitu: Ahl al-Ra’yi (wilayah Irak) dan Ahl al-Hadits (wilayah Hijaz).
Misalnya perbedaan dalam memandang dan memahami hadits tentang: “ Kewajiban mengeluarkan zakat berupa satu kambing dari setiap 40 kambing” juga tentang: “ Kewajiban zakat fitrah sebanyak satu Sho’ (dua setengah kilogram) kurma atau gandum”yang dalam hal ini ulama Irak (ahl al-Ra’yi) memahami hadits-hadits di atas dengan melibatkan pertimbangan akal dan mencari maksud atau tujuan persyari’atanya, yaitu pemilik 40 kambing wajib untuk membayar zakatnya kepada fakir miskin dan ashnaf (golongan) lainya berupa satu kambing atau yang sebanding denganya (seperti uang dan lain-lain), begitu juga dengan zakat fitrah, tidak harus berupa kurma atau gandum (makanan pokok) tetapi boleh dengan yang lainya yang sebanding nilai dan harganya (uang misalnya).
Adapun ulama Hijaz (ahl al-Hadits) memahami nash-nash ini apa adanya, sesuai dengan tekstualitas lafaznya dan tidak mau bersusah payah mencari ‘illat hukumnya juga tidak mau mencari takwil lewat ‘illat yang dipahami melalui naluri akal sehat, maka mereka membatasinya dengan kambing, kurma atau gandum saja, dan tidak menganggap sah dengan sesuatu yang lain walaupun nilai dan harganya sama sebanding.
Maka pada hakikatnya perbedaan antara kedua kelompok ini lebih didasarkan pada perbedaan cara pandang dalam memahami nash-nash agama (Al-qur’an dan as-sunah), ahl al-Ra’yi berpendapat bahwa hukum-hukum syari’at itu tergolong ta’aquli (bisa dipahami secara akal) yang inti dari penetapan syari’at itu adalah terwujudnya kemaslahatan manusia, maka tidak mungkin ada syari’at yang bertentangan dengan tujuan mulia itu (maslahat). Jadi penggunaan ra’yu bisa dibenarkan dalam penetapan syari’at bilamana kemaslahatan adalah tujuannya. Sedangkan al- Hadits tidak mau bersusah payah mencari ‘illat hukum dari penetapan syari’at, karena mereka lebih mengandalkan hafalan hadits-hadits yang banyak terdapat di Hijaz dan memegang fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan untuk memahami nash-nash hukum, maka mereka tidak mau peduli jika ada nash yang bertentangan dengan akal dan rasio mereka dan mereka tidak mau menggunakan ra’yu kecuali sudah mendesak dan sangat terpaksa sekali.

3.      Kalangan Ulama Fiqih (Para Mujtahid)
Mulai awal abad 2 Hijriyah sampai pertengahan abad 4 Hijriyah (mulai dari akhir dinasti Umaiyah sampai puncak kejayaan dinasti Abbasiyah) merupakan masa berkembangnya sunnah dan fiqih, sehingga muncul beberapa Imam Mujtahid yang pendapatnya (mazhab) dibukukan dan dipanuti banyak orang dan oleh mayoritas ulama Islam mereka diakui bahkan dijadikan acuan dalam berijtihad dan rujukan dalam berfatwa.
Mazhab-mazhab yang ada pada periode ini tetap berotasi di antara mazhab ahl al-Hadits dan mazhab ahl al-Ra’yi (dua mazhab fiqih yang berkembang pada masa tabi’in), namun ada juga yang mengambil jalan tengah di antara kedua mazhab yang berbeda itu, seperti mazhab Imam Syafi’i. Hal ini disebabkan karena Imam Syafi’i belajar dari tokoh-tokoh kedua mazhab itu, yaitu pada Imam Malik di Madinah (tokoh sentral ahl al-Hadits) dan pada Imam Hanafi (tokoh sentral ahl al-Ra’yi).
Adanya perbedaan pendapat antara para mujtahid adalah karena adanya perbedaan dalam hal menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkatan validitasnya, perbedaan dalam hal memahami sebuah nash dan upaya menggali hikmah atau ‘illat didalam nash itu, dan perbedaan ijtihad dalam suatu masalah yang tidak ditemukan nashnya baik secara tekstual atau kontekstual.
B. Aliran –aliran dalam fiqih
 Aliran yang mula-mula timbul dalam fiqih islam antara lain adalah aliran ahlul hadits (aliran tradisionalisme) dan aliran ahlu ra’yi atau ahlul qiyas (aliran rationalisme) kemudian berkembang aliran-aliran yang lain.
1.      Aliran Ahlul Hadits (aliran tradisionalisme)
 Ahlul hadits adalah golongan ulama fiqih yang berpegang hanya kepada  al- qur’an dan as-sunnah saja. Ahlul hadits ini dalam perkembangannya, terbagi dalam beberapa aliran, antara lain :
a. Aliran Malikiyah, ialah  pengikut Imam Malik bin Anas (penganut    mazhab maliki)
b. Aliran Syafi’iyah, ialah pengikut Imam Muhammad bin Idris as- Syafi’i (pengikut mazhab Syafi’i)
c. Aliran Hambaliyah, ialah pengikut Imam Ahmad bin Hambal (penganut mazhab Hambali)
d. Aliran Zhahiriyah, ialah pengikut Daud bin al-Azhahiri (penganut mazhab Azhahiry)
Tempat kelahiran ahlul hadits ini di Hijaz, daerah kota mekah. Di sinilah nabi Muhammad SAW mengembangkan ajaran islam dan terus ke madinah. Pelopor ahlul hadits tersebut adalah Sa’ad bim Musayyab. Beliau terkenal seorang ahli Qira-at/fuqaha, di samping itu juga seorang pemimpin golongan tabi’in.  Ahlul hadits ini berkembang di Hijaz dan di latar belakangi karena penduduk Hijaz tersebut lebih banyak mengenal hadits rasul, lebih mengetahui perbuatan dan ketetapan rasul. Aliran ahlul hadits ini selanjutnya dikenal dengan nama “Madrasah Hadits”.
Madrasah Hadits ini, tidak diyakini dan dipelihara oleh para fuqaha-fuqaha di negeri Hijaz dan Madinah saja, tetapi juga terdapat di daerah lainnya yaitu di Kuffah, Syam,dan Mesir.

2.      Aliran Ahlul Ra’yu atau Ahlul Qiyas (Aliran Rasionalisme)
Aliran Ahlul Ra’yu/ ahlul qiyas adalah golongan ulama fiqh islam yang  berpegang kepada hasil penelitian (Ra’yi) atau kepada Qiyas (hasil ijma’). Ahlul Ra’yu ini kemudian terkenal dengan aliran Madrasah, pengikutnya yaitu Hanafiah, ialah pengikut Imam Abu Hanifah dengan mazhabnya “Hanafi”. Berkembangnya di Iraq. Pelopornya yang terkenal adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais An-Nachaiy.

3.    Ahlussunnah wal Jama’ah.
Suatu aliran yang  penganut sunnah Nabi SAW dan al-jama’ah berarti penganut i’tiqad sahabat-sahabat nabi. Jadi yang dimaksud dengan kaum Ahlussunnah Waljamaah adalah kaum yang menganut i’tiqad dan amaliyah Nabi saw dan sahabat-sahabat beliau. Hal ini dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Ali Al Asy’ari (Basrah 260-324 H), dan muridnya Abu Manshur Al-Maturidi yang terkenal dan kemudian menjadi ulama di bidang yang sama.
Sedangkan dalam bidang furu’iyah (fiqh) corak berfikirnya lebih cenderung memakai metode berfikir  persyaratan penerimaan Hadits apabila perawinya adil dan cermat (dhabith) sampai ke akhir sanad tanpa adanya kelainan dan cacat baik perawinya dari Ahlu al-Bait atau tidak. yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus oleh sebagian besar ulama di seluruh dunia.
Termasuk kaum Aswaja dalam bidang fiqh adalah menganut salah satu dari mazhab empat itu, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Keempat mazhab ini dalam metode berfikirnya berbeda sehingga masing-masing mereka berbeda dalam memakai metode istinbath ijtihad sebagaimana dapat dilihat dalam kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh mereka.

4. Mazhab Ahli Zahir
Suatu aliran yang mempunyai ciri-ciri berfikirnya pengamalan teks literal dari Al Quran dan Sunnah tanpa dibarengi penafsiran terhadapnya, kecuali apabila ada dalil yang memerintahkan penggunaan pengertian selain makna lahiriyah. Apabila tidak didapatkan nash, mereka berpegang kepada ijmak. Mereka menolak jalan qiyas secara tegas dengan alasan bahwa Al Quran dan Hadis terdapat sandi-sandi dan sendi-sendi yang mencukupi segala masalah. Pemikir mazhab ini yang termashur adalah Ibn Hazm dalam kitabnya yang terkenal dalam bidang Fiqh  al-Muhalla, dalam lapangan Ushul Fiqh yaitu al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.

5.  Aliran yang berdasarkan politik (Khawarij dan Syi’ah)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, timbul aliran-aliran yang berdasarkan politik yaitu Khawarij dan Syi’ah. Sebab-sebab timbulnya Aliran yang berdasarkan politik :
1.      Perbedaan  pendapat mengenai siapa yang akan melaksanakan pemerintahan sesudah nabi.
2.      Hasutan seorang yahudi.
Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah secara lahir dapat disetujui oleh para sahabat, tetapi ada golongan yang tidak senang dan menginginkan agar Khalifah dari keluarga Rasul, yaitu Ali. Ini menjadi dendam oleh golongan ini. Sesudah masa pemerintahan Usman, baru lahir prinsip mereka hingga terjadi perang saudara dan berusaha menjatuhkan kekuasaan Usman.
 Kesempatan tersebut dimanfaatkan seorang yahudi yang berasal dari Yaman yaitu Abdullah bin Saba’. Dia berusaha menyalakan api fitnah, hingga Khalifah Usman akhirnya terbunuh dan Ali pun dibai’atkan menjadi khalifah. Walaupun saat itu Thalhah, Zubair, dan Muawiyah  menentang Ali, menuduh Ali melindungi pembunuhan Khalifah Usman,  karena Ali tidak menangkap pembunuh-pembunuh Usman, bahkan menerima mereka bergabung dalam laskarnya.
Karena pertentangan itu terjadilah peperangan saudara, perang Al Jamal. Dalam perang ini Thalhah dan Zubair meninggal, dan Muawiyah sesudah kewalahan dalam perang shiffin (37 H), menyuruh tentaranya mengangkat mushaf di ujung tombaknya untuk menerima tahkim. Karena siasat permintaan tahkim , golongan Ali menjadi pecah dua, ada yang menerima dan ada yang menolak. Golongan yang menolak dinamakan golongan Khawarij dan golongan penyokong Ali disebut Syiah.
a.    Khawarij
 Golongan Khawarij menjadi pemberontak, menentang Syi’ah, dengan alasan :
1.    Khalifah harus dipilih secara merdeka dan tidak mutlak satu orang, tetapi boleh ada di      setiap daerah.
2.    Mengerjakan perintah agama menjadi rukun iman, sebab siapa yang beriman kepada         Allah dan Rosul-Nya, tetapi tidak mau mengerjakan perintah-Nya, dipandang kafir.
                   Mereka mempunyai corak fiqih tersendiri, yaitu sebagai berikut :
1.    Seseorang yang akan sembahyang harus suci badan, hati, dan lidah. Orang yang memaki orang lain dipandang tidak suci.
2.    Pezina muhson tidak dirajam, tapi hanya cukup dijilid saja.
3.    Perkawinan yang diharamkan hanya terbatas menurut nash saja.
Kemudian Khawarij ini terpecah lagi atas golongan Iyadhiyah, Az-Zariqah, Najdiyah, dan Shafariyah.
b.   Syi’ah
Suatu aliran dalam Islam yang menyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW. Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok atau golongan, selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi, mereka juga mengembangkan pemikiran dalam bidang hukum.
Fiqh Syi’ah walaupun berdasarkan Al Quran dan Hadis namun berbeda dengan Fiqh Jumhur Ulama, diantaranya :
1. Fiqh yang berdasarkan kepada tafsir dan hadis yang sesuai dengan pendirian mereka, mereka tidak menerima tafsir dan hadits dari golongan lain.
2.  Fiqh mereka tidak menerima ijma’ dan qiyas, sebab orang-orang yang mengadakan ijma’ itu berasal dari para sahabat yang menjadi lawan politiknya, Mereka menolak qiyas, karena qiyas itu adalah hasil daya fikir, mereka berpendapat bahwa agama itu diambil dari Allah dan Rasul-Nya, serta dari imam-imam yang mereka ikuti.
Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan di antaranya :
1. Golongan Kaisaniyah yang berpendapat Muhamamd bin Ali dikenal   dengan nama Ibnul Hanafiah sebagai Imam Mahdy.
2. Golongan Zaidiyah kitabnya yang terkenal dalam bidang fiqh adalah Al-Majmu’. Seperti juga mazhab Imamiyah, mereka hanya bersandar pada Hadis yang diriwayatkan oleh golongan  Syi’ah. Mazhab ini merupakan mazhab dalam Syi’ah hanya memiliki sedikit perbedaan dengan Ahlusunnah.
3. Golongan Imamiyah, dikepalai oleh Ja’far Ash Shadiq / imamiyah Itsna’asyriyah. Dalam menetapkan hukum mengambil sumber Al Quran dan Hadis serta ucapan para Imam, mereka tidak menerima ijtihad dengan ra’yu dan mengambil hukum-hukum itu dari Imam yang ma’sum. Sebagi konsekuensinya mereka menolak ijmak dan qiyas. Fiqhnya sangat dipengaruhi oleh politik, seperti mereka tidak memperkenankan orang menjalankan shalat qashar bagi musafir kalau ia menuju Makkah.


C. Menyikapi aliran-aliran (mazhab)
1.      Mazhab Ahlu Hadis hanya menetakan hukum Islam lebih memfokuskan mengambil dalilnya dari nash Al-Quran dan Hadits, mereka tidak menggunakan ijtihad atau ra’yu, kecuali diwaktu sangat darurat, padahal tidak semua persoalan dapat dipecahkan dengan zahir ayat dan hadits, maka untuk mengetahui maskud nash perlu ijtihad dan ra’yu.
2.      Mazhab Ahlu Ra’yu sangat relevan dengan perkembangan hukum dalam masyarakat karena mereka berpendapat bahwa hukum-hukum Islam dapat difahamkan maknanya dari Al Quran dan Hadis, melengkapi maslahat yang kembali kepada hamba, mereka membahas ‘illat-‘illat dan hikmah-hikmah hukum, yang berarti bahwa hukum dapat menjawab persoalan yang timbul karena didasarkan kepada ‘illat dan hikmah.
3.    Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah bidang furu’iyah (fiqh) ada empat mazhab yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus, mazhab ini merupakan mazhab yang rasional dan moderat, oleh karenanya mazhab mudah diterima oleh mayoritas umat Islam, walaupun dalam aplikasinya ada beberapa perbedaan.
4.      Mazhab Ahli Zahir dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapati nash Al Quran dan Sunnah, maka mereka mengambil ijma’ seluruh umat manusia. Jelas syarat ini tidak mungkin terwujud, dengan demikian maka sebenarnya mazhab ini menolak ijma’. Sedangkan qiyas mereka tolak, akan tetapi kenyataan dalam prakteknya, mazhab ini juga menerima konsep analogi (qiyas).
5.      Mazhab Syi’ah, aliran fiqhnya ternyata sarat dengan politik, seperti pelaksanaan shalat qashar yang hanya dibolehkan ketika berjalan menuju makkah, madinah, kuffah dan Karbela. Aliran ini bersifat ekslusif sehingga tidak mau menerima pendapat imam yang lain.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.       Perbedaan antara para sahabat Nabi saw karena mereka tidak memiliki tempat bertanya dan meminta fatwa setelah Nabi Muhammad saw wafat, padahal islam semakin tersebar luas ke berbagai penjuru dunia yang juga berdampak pada banyaknya persoalan baru yang tidak didapat nashnya dalam Al-qur’an dan al-sunnah. Perbedaan pendapat pada masa tabi’in disebabkan para tabi’in belajar dari beberapa sahabat yang berbeda dengan berbagai macam pendapat yang berbeda pula, maka tidak heran jika kemudian ijtihad-ijtihad fiqih pada masa tabi’in ini akan berbeda pula satu dengan yang lainya. Sedangkan perbedaan pendapat antara para ulama fiqih (mujtahid) adalah karena adanya perbedaan dalam hal menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkatan validitasnya, perbedaan dalam hal memahami sebuah nash dan upaya menggali hikmah atau ‘illat didalam nash itu, dan perbedaan ijtihad dalam suatu masalah yang tidak ditemukan nashnya baik secara tekstual atau kontekstual.
2.      Aliran-aliran dalam fiqih antara lain: aliran ahlul Hadits (aliran tradisional), aliran ahlul Ra’yu atau ahlul Qiyas (aliran rasionalisme),aliran ahlussunah wal jama’ah, mazhab ahli zahir, dan aliran yang berdasarkan politik (khawarij dan syi’ah).
3.      Cara menyikapi aliran –aliran dalam fiqih adalah

 DAFTAR PUSTAKA
Arfan, Abbas. 2008. Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam. Malang: UIN Malang Pers.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Djatnika, Rachmat, et al. 1986. Perkembangan fiqih di Dunia Islam. Jakarta: Depag RI.
Siny, Mun’im A. 2006. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti.
Syihab, Umar.1996. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Jakarta: PT. Dina Utama (Toha Putra Group).
Yanggo, Huzaemah T. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.





Posting Komentar