BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar dalam
kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Islam, paling tidak ini menunjukkan
kerealistisannya sebagai sebuah agama yang memperlakukan manusia sebagai
manusia yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya dalam hal tingkat
kemampuan, pengetahuan dan pemahaman. Setelah masa-masa kenabian perbedaan pola
pandang di kalangan sahabat sering terjadi, akan tetapi perbedaan tersebut
tidak timbul dari kelemahan akidah, atau keraguan terhadap kebenaran ajaran
Rasulullah saw, melainkan semata-mata karena keinginan yang kuat untuk
merumuskan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah atau ijtihadiyah, yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi saw, namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan, dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan yang berpindah-pindah dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dengan masa yang lainnya. Namun di sana terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur berbeda.
Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah atau ijtihadiyah, yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi saw, namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan, dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan yang berpindah-pindah dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dengan masa yang lainnya. Namun di sana terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur berbeda.
Karena banyaknya kelompok yang bermunculan, maka
metode pemikiran juga semakin banyak, yang mana setiap aliran mempunyai
pijakan-pijakan atau kaidah-kaidah tersendiri yang digunakan dalam berinteraksi
dengan teks-teks agama serta menafsirkan sumber-sumber syari’at dan menyikapi
berbagai problem baru yang muncul.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
saja penyebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat Nabi saw, tabi’in, dan para
ulama fiqih?
2.
Apa saja aliran –aliran dalam fiqih?
3.
Bagaimana cara menyingkapi aliran-aliran
dalam fiqih?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perpedaan
Pendapat Dalam Fiqih
Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata Ikhtilaf atau Khilaf. Perbedaan pendapat dalam fiqih merupakan perbedaan yang
disebabkan oleh perbedaan akal pikiran, karena bila ditinjau dari
sebab-sebabnya secara global, perbedaaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang
disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang disebabkan akal pikiran.
Perbedaan yang disebabkan moral biasanya dikarenakan terlalu menganggap cukup
dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan
seksama dan teliti, seperti Su’uzhon
dengan orang lain, fanatik terhadap pendapat seseorang atau mazhab dan golongan
tertentu.
Adapun perbedaan yang disebabkan akal pikiran adalah
perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan
dalam cabang-cabang syari’at Islam, atau bersifat aqidah, dan lain-lain.
Perbedaan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh
sampingan yang mempengaruhi akal seperti lingkungan, zaman, situasi, dan
kondisi. Maka perbedaan dalam fiqih merupakan sesuatu yang pasti terjadi,
karena tabiatnya agama, bahasa, manusia juga tabiatnya alam kehidupan.
Perbedaan dalam fiqih ini, tidak hanya dianggap
sebagai hal yang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta karun
warisan yang amat berharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah
peninggalan yang bisa dijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqih itu
sendiri di masa-masa mendatang, juga bahan pertimbangan dan masukan yang tidak
sedikit nilainya. Perbedaan dalam fiqih dengan banyaknya mazhab ini tidak bisa
dilepaskan secara historis dari masa-masa lampau, ketika masa para sahabat Nabi
saw, tabi’in dan seterusnya sampai terbentuknya berbagai macam mazhab fiqih,
sehingga masa sekarang ini, dimana taqlid
kepada salah satu mazhab atau beberapa mazhab masih diperlukan, walau
ijtihad tetap boleh dilakukan. Berikut ini adalah beberapa contoh perbedaan
pendapat dan sebab-sebabnya.
1.
Kalangan
Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw
Perbedaan
pendapat di kalangan para sahabat Nabi saw dalam berbagai bidang, khususnya
hukum islam sangat nyata dan luas sepeninggal Nabi saw, namun bukan berarti ketika Nabi saw masih hidup tidak ada
perbedaan antara mereka dalam masalah-masalah hukum. Satu contoh kasus adalah:
sebuah riwayat hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang
menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw pada saat perang Ahzab: “memerintahkan agar para sahabatnya tidak melakukan sholat Ashar
kecuali di kampung Bani Quraizhoh”. Sebagian diantara mereka ada yang masih
dalam perjalanan dan telah tiba waktu sholat Ashar, maka diantara mereka ada
yang berpendapat bahwa shalat Ashar harus dilakukan di Kampung Bani Quraizhoh
(karena Rasul saw melarangnya kecuali telah sampai di tempat itu), sedangkan
sebagian yang lain melakukan shalat Ashar di perjalanan. Perbedaan pendapat
tersebut disampaikan kepada Rasulallah saw dan beliau tidak mencela salah satu
dari kedua kelompok tersebut, artinya beliau membenarkan keduanya.
Perbedaan
antara para sahabat Nabi saw dalam masalah fiqih semakin nampak dan meluas,
karena mereka tidak memiliki tempat bertanya dan meminta fatwa setelah Nabi
Muhammad saw wafat, padahal islam semakin tersebar luas ke berbagai penjuru
dunia yang juga berdampak pada banyaknya persoalan baru yang tidak didapat
nashnya dalam Al-qur’an dan al-sunnah. Hal inilah yang mendorong al-Khulafa al-Rasyidun dan sahabat Nabi
saw lainya untuk berijtihad guna menetapkan hukum yang jelas bagi berbagai
permasalahan yang ada.
Di
antara perbedaan pendapat yang terjadi pada masa sahabat Nabi saw sepeninggal
Nabi saw adalah seperti perbedaan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar bin
Khattab dalam hal memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, antara
beberapa sahabat Nabi saw dalam hal meng-qishas
sekelompok orang yang telah membunuh satu orang.
2. Kalangan Tabi’in (Pengikut-pengikut
para Sahabat Nabi)
Perbedaan
pendapat pada masa ini disebabkan para tabi’in belajar dari beberapa sahabat
yang berbeda dengan berbagai macam pendapat yang berbeda pula, maka tidak heran
jika kemudian ijtihad-ijtihad fiqih pada masa tabi’in ini akan berbeda pula
satu dengan yang lainya. Pada masa ini perbedaan pendapat yang ada lebih banyak
dipicu oleh pertentangan antara dua kelompok, yaitu: Ahl al-Ra’yi (wilayah
Irak) dan Ahl al-Hadits (wilayah Hijaz).
Misalnya
perbedaan dalam memandang dan memahami hadits tentang: “ Kewajiban mengeluarkan zakat berupa satu kambing dari setiap 40
kambing” juga tentang: “ Kewajiban
zakat fitrah sebanyak satu Sho’ (dua setengah kilogram) kurma atau gandum”yang
dalam hal ini ulama Irak (ahl al-Ra’yi) memahami hadits-hadits di atas dengan
melibatkan pertimbangan akal dan mencari maksud atau tujuan persyari’atanya,
yaitu pemilik 40 kambing wajib untuk membayar zakatnya kepada fakir miskin dan ashnaf (golongan) lainya berupa satu
kambing atau yang sebanding denganya (seperti uang dan lain-lain), begitu juga
dengan zakat fitrah, tidak harus berupa kurma atau gandum (makanan pokok)
tetapi boleh dengan yang lainya yang sebanding nilai dan harganya (uang
misalnya).
Adapun
ulama Hijaz (ahl al-Hadits) memahami nash-nash ini apa adanya, sesuai dengan
tekstualitas lafaznya dan tidak mau bersusah payah mencari ‘illat hukumnya juga
tidak mau mencari takwil lewat ‘illat yang dipahami melalui naluri akal sehat,
maka mereka membatasinya dengan kambing, kurma atau gandum saja, dan tidak
menganggap sah dengan sesuatu yang lain walaupun nilai dan harganya sama
sebanding.
Maka
pada hakikatnya perbedaan antara kedua kelompok ini lebih didasarkan pada
perbedaan cara pandang dalam memahami nash-nash agama (Al-qur’an dan as-sunah),
ahl al-Ra’yi berpendapat bahwa hukum-hukum syari’at itu tergolong ta’aquli (bisa dipahami secara akal)
yang inti dari penetapan syari’at itu adalah terwujudnya kemaslahatan manusia,
maka tidak mungkin ada syari’at yang bertentangan dengan tujuan mulia itu
(maslahat). Jadi penggunaan ra’yu bisa dibenarkan dalam penetapan syari’at
bilamana kemaslahatan adalah tujuannya. Sedangkan al- Hadits tidak mau bersusah
payah mencari ‘illat hukum dari penetapan syari’at, karena mereka lebih
mengandalkan hafalan hadits-hadits yang banyak terdapat di Hijaz dan memegang
fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan untuk memahami nash-nash hukum, maka
mereka tidak mau peduli jika ada nash yang bertentangan dengan akal dan rasio
mereka dan mereka tidak mau menggunakan ra’yu kecuali sudah mendesak dan sangat
terpaksa sekali.
3. Kalangan Ulama Fiqih (Para
Mujtahid)
Mulai
awal abad 2 Hijriyah sampai pertengahan abad 4 Hijriyah (mulai dari akhir
dinasti Umaiyah sampai puncak kejayaan dinasti Abbasiyah) merupakan masa
berkembangnya sunnah dan fiqih, sehingga muncul beberapa Imam Mujtahid yang
pendapatnya (mazhab) dibukukan dan dipanuti banyak orang dan oleh mayoritas
ulama Islam mereka diakui bahkan dijadikan acuan dalam berijtihad dan rujukan
dalam berfatwa.
Mazhab-mazhab
yang ada pada periode ini tetap berotasi di antara mazhab ahl al-Hadits dan
mazhab ahl al-Ra’yi (dua mazhab fiqih yang berkembang pada masa tabi’in), namun
ada juga yang mengambil jalan tengah di antara kedua mazhab yang berbeda itu,
seperti mazhab Imam Syafi’i. Hal ini disebabkan karena Imam Syafi’i belajar
dari tokoh-tokoh kedua mazhab itu, yaitu pada Imam Malik di Madinah (tokoh
sentral ahl al-Hadits) dan pada Imam Hanafi (tokoh sentral ahl al-Ra’yi).
Adanya
perbedaan pendapat antara para mujtahid adalah karena adanya perbedaan dalam
hal menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkatan validitasnya,
perbedaan dalam hal memahami sebuah nash dan upaya menggali hikmah atau ‘illat
didalam nash itu, dan perbedaan ijtihad dalam suatu masalah yang tidak
ditemukan nashnya baik secara tekstual atau kontekstual.
B.
Aliran –aliran dalam fiqih
Aliran yang mula-mula timbul dalam fiqih islam
antara lain adalah aliran ahlul hadits (aliran tradisionalisme) dan aliran ahlu
ra’yi atau ahlul qiyas (aliran rationalisme) kemudian berkembang aliran-aliran
yang lain.
1.
Aliran
Ahlul Hadits (aliran tradisionalisme)
Ahlul hadits adalah golongan ulama fiqih yang
berpegang hanya kepada al- qur’an dan
as-sunnah saja. Ahlul hadits ini dalam perkembangannya, terbagi dalam beberapa
aliran, antara lain :
a.
Aliran Malikiyah, ialah pengikut Imam
Malik bin Anas (penganut mazhab
maliki)
b.
Aliran Syafi’iyah, ialah pengikut Imam Muhammad bin Idris as- Syafi’i (pengikut
mazhab Syafi’i)
c.
Aliran Hambaliyah, ialah pengikut Imam Ahmad bin Hambal (penganut mazhab Hambali)
d.
Aliran Zhahiriyah, ialah pengikut Daud bin al-Azhahiri (penganut mazhab Azhahiry)
Tempat
kelahiran ahlul hadits ini di Hijaz, daerah kota mekah. Di sinilah nabi
Muhammad SAW mengembangkan ajaran islam dan terus ke madinah. Pelopor ahlul
hadits tersebut adalah Sa’ad bim Musayyab. Beliau terkenal seorang ahli
Qira-at/fuqaha, di samping itu juga seorang pemimpin golongan tabi’in. Ahlul hadits ini berkembang di Hijaz dan di
latar belakangi karena penduduk Hijaz tersebut lebih banyak mengenal hadits rasul,
lebih mengetahui perbuatan dan ketetapan rasul. Aliran ahlul hadits ini
selanjutnya dikenal dengan nama “Madrasah Hadits”.
Madrasah
Hadits ini, tidak diyakini dan dipelihara oleh para fuqaha-fuqaha di negeri Hijaz
dan Madinah saja, tetapi juga terdapat di daerah lainnya yaitu di Kuffah,
Syam,dan Mesir.
2. Aliran Ahlul Ra’yu atau Ahlul Qiyas
(Aliran Rasionalisme)
Aliran
Ahlul Ra’yu/ ahlul qiyas adalah golongan ulama fiqh islam yang berpegang kepada hasil penelitian (Ra’yi)
atau kepada Qiyas (hasil ijma’). Ahlul Ra’yu ini kemudian terkenal dengan
aliran Madrasah, pengikutnya yaitu Hanafiah, ialah pengikut Imam Abu Hanifah
dengan mazhabnya “Hanafi”. Berkembangnya di Iraq. Pelopornya yang terkenal
adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais An-Nachaiy.
3. Ahlussunnah
wal Jama’ah.
Suatu aliran yang penganut sunnah Nabi SAW dan al-jama’ah
berarti penganut i’tiqad sahabat-sahabat nabi. Jadi yang dimaksud dengan kaum
Ahlussunnah Waljamaah adalah kaum yang menganut i’tiqad dan amaliyah Nabi saw
dan sahabat-sahabat beliau. Hal ini dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Ali Al
Asy’ari (Basrah 260-324 H), dan muridnya Abu Manshur Al-Maturidi yang terkenal
dan kemudian menjadi ulama di bidang yang sama.
Sedangkan dalam bidang furu’iyah
(fiqh) corak berfikirnya lebih cenderung memakai metode berfikir
persyaratan penerimaan Hadits apabila perawinya adil dan cermat (dhabith)
sampai ke akhir sanad tanpa adanya kelainan dan cacat baik perawinya dari Ahlu
al-Bait atau tidak. yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia
dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus oleh sebagian besar ulama
di seluruh dunia.
Termasuk kaum Aswaja
dalam bidang fiqh adalah menganut salah satu dari mazhab empat itu, yaitu
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Keempat mazhab ini dalam metode
berfikirnya berbeda sehingga masing-masing mereka berbeda dalam memakai metode
istinbath ijtihad sebagaimana dapat dilihat dalam kitab-kitab Fiqh dan Ushul
Fiqh mereka.
4. Mazhab Ahli Zahir
Suatu aliran yang mempunyai ciri-ciri
berfikirnya pengamalan teks literal dari Al Quran dan Sunnah tanpa dibarengi
penafsiran terhadapnya, kecuali apabila ada dalil yang memerintahkan penggunaan
pengertian selain makna lahiriyah. Apabila tidak didapatkan nash, mereka
berpegang kepada ijmak. Mereka menolak jalan qiyas secara tegas dengan alasan
bahwa Al Quran dan Hadis terdapat sandi-sandi dan sendi-sendi yang mencukupi
segala masalah. Pemikir mazhab ini yang termashur adalah Ibn Hazm dalam
kitabnya yang terkenal dalam bidang Fiqh al-Muhalla, dalam
lapangan Ushul Fiqh yaitu al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.
5. Aliran yang berdasarkan politik (Khawarij dan
Syi’ah)
Setelah
Nabi Muhammad SAW wafat, timbul aliran-aliran yang berdasarkan politik yaitu
Khawarij dan Syi’ah. Sebab-sebab timbulnya Aliran yang berdasarkan politik :
1. Perbedaan pendapat mengenai siapa yang akan
melaksanakan pemerintahan sesudah nabi.
2. Hasutan
seorang yahudi.
Pengangkatan
Abu Bakar menjadi khalifah secara lahir dapat disetujui oleh para sahabat,
tetapi ada golongan yang tidak senang dan menginginkan agar Khalifah dari
keluarga Rasul, yaitu Ali. Ini menjadi dendam oleh golongan ini. Sesudah masa
pemerintahan Usman, baru lahir prinsip mereka hingga terjadi perang saudara dan
berusaha menjatuhkan kekuasaan Usman.
Kesempatan tersebut dimanfaatkan seorang
yahudi yang berasal dari Yaman yaitu Abdullah bin Saba’. Dia berusaha
menyalakan api fitnah, hingga Khalifah Usman akhirnya terbunuh dan Ali pun
dibai’atkan menjadi khalifah. Walaupun saat itu Thalhah, Zubair, dan Muawiyah menentang Ali, menuduh Ali melindungi
pembunuhan Khalifah Usman, karena Ali
tidak menangkap pembunuh-pembunuh Usman, bahkan menerima mereka bergabung dalam
laskarnya.
Karena
pertentangan itu terjadilah peperangan saudara, perang Al Jamal. Dalam perang
ini Thalhah dan Zubair meninggal, dan Muawiyah sesudah kewalahan dalam perang
shiffin (37 H), menyuruh tentaranya mengangkat mushaf di ujung tombaknya untuk
menerima tahkim. Karena siasat permintaan tahkim , golongan Ali menjadi pecah
dua, ada yang menerima dan ada yang menolak. Golongan yang menolak dinamakan
golongan Khawarij dan golongan penyokong Ali disebut Syiah.
a.
Khawarij
Golongan Khawarij menjadi pemberontak,
menentang Syi’ah, dengan alasan :
1. Khalifah
harus dipilih secara merdeka dan tidak mutlak satu orang, tetapi boleh ada di setiap daerah.
2. Mengerjakan
perintah agama menjadi rukun iman, sebab siapa yang beriman kepada Allah dan
Rosul-Nya, tetapi tidak mau mengerjakan perintah-Nya, dipandang kafir.
Mereka
mempunyai corak fiqih tersendiri, yaitu sebagai berikut :
1. Seseorang
yang akan sembahyang harus suci badan, hati, dan lidah. Orang yang memaki orang
lain dipandang tidak suci.
2. Pezina
muhson tidak dirajam, tapi hanya cukup dijilid saja.
3. Perkawinan
yang diharamkan hanya terbatas menurut nash saja.
Kemudian
Khawarij ini terpecah lagi atas golongan Iyadhiyah, Az-Zariqah, Najdiyah, dan
Shafariyah.
b.
Syi’ah
Suatu aliran dalam Islam yang menyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan
keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi
Muhammad SAW. Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok
atau golongan, selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi, mereka juga
mengembangkan pemikiran dalam bidang hukum.
Fiqh Syi’ah
walaupun berdasarkan Al Quran dan Hadis namun berbeda dengan Fiqh Jumhur Ulama,
diantaranya :
1. Fiqh yang berdasarkan kepada
tafsir dan hadis yang sesuai dengan pendirian mereka, mereka tidak menerima
tafsir dan hadits dari golongan lain.
2. Fiqh mereka tidak menerima ijma’ dan qiyas,
sebab orang-orang yang mengadakan ijma’ itu berasal dari para sahabat yang
menjadi lawan politiknya, Mereka menolak qiyas, karena qiyas itu adalah hasil
daya fikir, mereka berpendapat bahwa agama itu diambil dari Allah dan Rasul-Nya,
serta dari imam-imam yang mereka ikuti.
Syi’ah terpecah menjadi beberapa
golongan di antaranya :
1. Golongan Kaisaniyah yang
berpendapat Muhamamd bin Ali dikenal
dengan nama Ibnul Hanafiah sebagai Imam Mahdy.
2. Golongan Zaidiyah kitabnya
yang terkenal dalam bidang fiqh adalah Al-Majmu’. Seperti juga mazhab Imamiyah,
mereka hanya bersandar pada Hadis yang diriwayatkan oleh golongan Syi’ah.
Mazhab ini merupakan mazhab dalam Syi’ah hanya memiliki sedikit perbedaan
dengan Ahlusunnah.
3. Golongan Imamiyah, dikepalai
oleh Ja’far Ash Shadiq / imamiyah Itsna’asyriyah. Dalam menetapkan hukum
mengambil sumber Al Quran dan Hadis serta ucapan para Imam, mereka tidak
menerima ijtihad dengan ra’yu dan mengambil hukum-hukum itu dari Imam yang ma’sum.
Sebagi konsekuensinya mereka menolak ijmak dan qiyas. Fiqhnya sangat
dipengaruhi oleh politik, seperti mereka tidak memperkenankan orang menjalankan
shalat qashar bagi musafir kalau ia menuju Makkah.
C. Menyikapi
aliran-aliran (mazhab)
1. Mazhab Ahlu
Hadis hanya menetakan hukum Islam lebih memfokuskan mengambil dalilnya dari
nash Al-Quran dan Hadits, mereka tidak menggunakan ijtihad atau ra’yu,
kecuali diwaktu sangat darurat, padahal tidak semua persoalan dapat dipecahkan
dengan zahir ayat dan hadits, maka untuk mengetahui maskud nash perlu ijtihad
dan ra’yu.
2. Mazhab Ahlu
Ra’yu sangat relevan dengan perkembangan hukum dalam masyarakat karena mereka
berpendapat bahwa hukum-hukum Islam dapat difahamkan maknanya dari Al Quran dan
Hadis, melengkapi maslahat yang kembali kepada hamba, mereka membahas ‘illat-‘illat
dan hikmah-hikmah hukum, yang berarti bahwa hukum dapat menjawab persoalan yang
timbul karena didasarkan kepada ‘illat dan hikmah.
3. Mazhab
Ahlussunnah wal Jama’ah bidang furu’iyah
(fiqh) ada empat mazhab yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia
dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus, mazhab ini merupakan
mazhab yang rasional dan moderat, oleh karenanya mazhab mudah diterima oleh
mayoritas umat Islam, walaupun dalam aplikasinya ada beberapa perbedaan.
4. Mazhab Ahli
Zahir dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapati nash Al Quran dan Sunnah,
maka mereka mengambil ijma’ seluruh umat manusia. Jelas syarat ini tidak
mungkin terwujud, dengan demikian maka sebenarnya mazhab ini menolak ijma’.
Sedangkan qiyas mereka tolak, akan tetapi kenyataan dalam prakteknya, mazhab
ini juga menerima konsep analogi (qiyas).
5. Mazhab
Syi’ah, aliran fiqhnya ternyata sarat dengan politik, seperti pelaksanaan
shalat qashar yang hanya dibolehkan ketika berjalan menuju makkah, madinah,
kuffah dan Karbela. Aliran ini bersifat ekslusif sehingga tidak mau menerima
pendapat imam yang lain.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.
Perbedaan antara para sahabat Nabi saw karena
mereka tidak memiliki tempat bertanya dan meminta fatwa setelah Nabi Muhammad
saw wafat, padahal islam semakin tersebar luas ke berbagai penjuru dunia yang
juga berdampak pada banyaknya persoalan baru yang tidak didapat nashnya dalam
Al-qur’an dan al-sunnah. Perbedaan pendapat pada masa tabi’in disebabkan para
tabi’in belajar dari beberapa sahabat yang berbeda dengan berbagai macam
pendapat yang berbeda pula, maka tidak heran jika kemudian ijtihad-ijtihad
fiqih pada masa tabi’in ini akan berbeda pula satu dengan yang lainya.
Sedangkan perbedaan pendapat antara para ulama fiqih (mujtahid) adalah karena
adanya perbedaan dalam hal menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkatan
validitasnya, perbedaan dalam hal memahami sebuah nash dan upaya menggali
hikmah atau ‘illat didalam nash itu, dan perbedaan ijtihad dalam suatu masalah
yang tidak ditemukan nashnya baik secara tekstual atau kontekstual.
2.
Aliran-aliran dalam fiqih antara lain:
aliran ahlul Hadits (aliran tradisional), aliran ahlul Ra’yu atau ahlul Qiyas
(aliran rasionalisme),aliran ahlussunah wal jama’ah, mazhab ahli zahir, dan
aliran yang berdasarkan politik (khawarij dan syi’ah).
3.
Cara menyikapi aliran –aliran dalam
fiqih adalah
DAFTAR
PUSTAKA
Arfan, Abbas. 2008. Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum
Islam. Malang: UIN Malang Pers.
Bakry,
Nazar. 1996. Fiqih dan Ushul Fiqih.
Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Djatnika, Rachmat, et
al. 1986. Perkembangan fiqih di Dunia
Islam. Jakarta: Depag RI.
Siny, Mun’im A. 2006. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar.
Surabaya: Risalah Gusti.
Syihab, Umar.1996. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran.
Jakarta: PT. Dina Utama (Toha Putra Group).
Yanggo, Huzaemah T.
1997. Pengantar Perbandingan Mazhab.
Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
by Unknown
Jumat, 20 September 2013