KEMANUSIAAN UNIVERSAL


BAB I
PENDAHULUAN

    A.   Latar Belakang
Masalah kemanusiaan semakin rumit. Padahal telah banyak catatan dan kisah yang menceritakan revolusi-revolusi yang ingin menghancurkan kebobrokan kemanusiaan dan membangun kemanusiaan baru. Akan tetapi, semuanya  seperti sebuah cerita yang hambar, karena yang dihancurkan tampaknya tidak hancur seluruhnya dan yang dibangun tidak semuanya mengesankan.
Kita melihat, jika hari ini para buruh menuntut dan protes tentang hak mereka, besok akan muncul protes tentang masalah agama di Cina. Kalau kemarin orang mengutuk pemerintah Cina yang tidak menghargai agama Islam, sekarang akan ada protes tentang hasil pemilu. Jika sekarang berteriak tentang problem pemilu, besok barang kali kita akan menemukan masalah yang baru. Semua ingin memeriakkan hal yang berbeda setiap harinya. Dan itu disebabkan banyaknya dari kita tidak mengakui adanya nilai kemanusiaan yang universal.
Manusia sejatinya ditempatkan pada posisi mulia, dihormati sebagaimana setiap manusia menghormati diri sendiri. Namun, dalam dunia kita sekarang ini, kita sering egois, tidak peduli masalah yang ada disekitar kita. Komunitas basis tampak tidak relevan untuk zaman kita sekarang ini. kita tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya kita ada dan lahir dari satu kemanusiaan , yaitu kemanusiaan universal yang tak seharusnya berpisah menjadi partikular.
Kita juga tahu perubahan itu berasal dari yang partikular. Akan tetapi, perubahan yang sesungguhnya tidak akan pernah terjadi jika hanya dilakukan seorang yang lemah, artinya jika kita merasa berdiri sendiri. Kita harus punya rasa “satu kemanusiaan”.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari kemanusiaan universal?
2.      Bagaimana  proses pemikiran humanisme dalam kontruksi kebangsaan Indonesia?
3.      Apa dasar adanya nilai kemanusiaan dalam perumusan pancasila?
4.      Usaha apa saja yang dilakukan untuk membumikan kemanusiaan dalam kerangka pancasila?

                BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Kemanusiaan Universal
Kemanusiaan universal adalah  bahwa manusia dibekali akal dan pikiran untuk melakukan segala kegiatan. Oleh karena itulah manusia menjadi makhluk yang paling sempurna dari semua makhluk cipaanNya. Memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, mempunyai persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban.

B.     Perpektif Historis Pemikiran Humanisme dalam Kontruksi Kebangsaan Indonesia
Sebelum negara Indonesia terbentuk pada 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan. Awal abad ke-16 bangsa Eropa seperti Belanda mulai masuk ke Indonesia dan terjadilah perubahan politik kerajaan yang berkaitan dengan perebutan daerah. Kontak dengan bangsa Eropa telah membawa perubahan-perubahan dalam pandangan masyarakat yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalisme, demokrasi, nasionalisme. Hingga sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan jiwa Nasionalisme dan bersatu untuk merdeka(Ahmad, 2000: 45).
Sebagai tindakan lanjut dari janji Kaisar Hirohito yang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia maka dibentuklah suatu badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan nama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Muhammad Yamin, Soepomo, Moh. Hatta, dan Soekarno berpidato guna membahas tentang rancangan usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI.  Setelah sidang tersebut dibentuklah panitia kecil yaitu panitia sembilan. Panitia sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Mukadimah Hukum Dasar. Pada sidang kedua BPUPKI tgl 10 Juli 1945 dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar dan penjelasannya. Sidang kedua ini juga berhasil menentukan bentuk negara Indonesia yaitu Republik. Seiring berjalannya waktu, dibentuklah PPKI yang bertugas melanjutkan tugas BPUPKI.
Seiring dengan kekalahan Jepang, para pemuda mendesaak agar kemerdekaan dilaksanakan secepatnya tanpa menunggu persetujuan dari jepang. Dan pada akhirnya Soekarno-Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia (Junanto, 2012: 67).
Sehari setelah Indonesia merdeka, PPKI mengadakan sidang pertamanya. Dalam sidang tersebut terdapat perubahan yang telah dilakukan yaitu perubahan pada sila pertama (tujuh buah kata dihilangkan dan diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa) dan beberapa perubahan pada rancangan UUD. Pada saat itu juga Pembukaan Undang-Undang Dasar dan pasal-pasal UUD disahkan menjadi Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia. Pada sidang tersebut juga menetapkan Ir. Soekarno dan Moh.Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Selanjutnya sidang tersebut juga membicarakan rancangan aturan peralihan.
Dalam pidato Soekarno jelas terlihat bahwa Pancasila ini merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme yang dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya seperti yang dinyatakan Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pernyataan dalam pidato ini adalah bahwa spiritualitas yang menjadi domain kedaulatan masyarakat pasca kolonial menjadi bermasalah ketika digunakan untuk mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional. Masalah tersebut muncul karena ketika kita mencari akar spiritualitas yang diklaim sebagai produk alamiah, yang kita temukan sekali lagi adalah hasil konsep-konsep Barat yang direpresentasikan sebagai sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme ( Ahmad, 2000: 66).
Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pasca kolonial jauh lebih kompleks dari pada nasionalisme Timur dan Barat maupun dari spiritualitas Timur sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pasca kolonial mampu membangun autentitasnya (kealamiahannya). Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara alami pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan yang tentunya masih dapat diperdebatkan, inspirasi utama. bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber (Much. Abdul, 2012: 35).
C.    Nilai Kemanusiaan dalam Perumusan Pancasila
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan Beradab dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide Pancasila  Bung Karno  yang hidup di masa penjajahan Belanda merasa ada perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi atau mayoritas bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu dan lain cara.
Jadi dalam alam kemerdekaan sudah seharusnya bangsa Indonesia memperlakukan sesama manusia secara manusiawi, secara adil, dan tidak meniru model penjajahan manusia oleh manusia yang berasal dari budaya masa lalu yang masih biadab. Subtansi ini juga tercermin pada paragraf awal dari pembukaan UUD yang berbunyi: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kita sebagai manusia diharapkan memperlakukan manusia yang lain seperti kita memperlakukan diri kita sendiri (dalam bahasa yang berbeda masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipastikan mempunyai sikap hidup seperti ini). Oleh karena itu bisa juga dikatakan bahwa  Kemanusian Yang Adil dan beradab digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri ( Muhammad, 2001: 34).
Pada bahasa modern-nya Kemanusian Yang Adil dan Beradab juga bisa diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bangsa Indonesia sudah seharuskan menghargai Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 December, 1948 dan Hak Asasi Manusia atau Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab kemudian secara operational dijabarkan dalam UUD ’45 pasal-pasal tentang HAM yaitu Bab XA yang secara komprehensif telah disisipkan pada amandemen ke 2 UUD’45 tahun 2000 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J .
Pelaksanaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang diartikan sebagai penghormatan Bangsa dan Negara terhadap Hak Asasi Manusia harus dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum amandemen 2 tahun 2000 dan sesudahnya. Karena penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia secara formal yuridis punya kekuatan hukum dalam konstitusi baru mulai tahun 2000. Walaupun esensi Kemanusian Yang Adil dan Beradab memang sudah ada sejak ada pada UUD’45  pada pembukaan UUD’45 dan secara umum di pasal 27 dan 28.
Sebagai anggota PBB tentu Indonesia harus juga patuh pada deklarasi hak asasi manusia yang dicanangkan oleh PBB. Tapi realitasnya pada fase pemerintahan Bung Karno dan apalagi pada masa pemerintahan Soeharto banyak sekali peristiwa yang baik pemerintah maupun rakyat Indonesia sama sekali tidak menghiraukan hak asasi manusia.
Hal ini disebabkan sosialiasi deklarasi hak asasi manusia versi PBB tidak pernah dilakukan oleh pemerintah saat itu, tidak pernah diwajibkan baik kalangan pemerintah maupun rakyatnya untuk mempelajari atau mentaati deklarasi hak asasi manusia versi PBB, yang mempelajari hanya terbatas sebagian kecil praktisi hukum maupun LSM yang bergerak dibidang perlindungan HAM. 
Seolah-olah pemerintah saat itu melakukan pembenaran melakukan pelanggaran HAM dikarenakan tidak punya landasan yang kuat yang tercantum di konstitusi atau UUD’45 sebelum amandemen ke 2, tahun 2000. Sebetulnya setelah amandemen ke-2 UUD’45, tahun 2000, tidak ada alasan lagi bagi para pejabat pemerintah terutama para penegak hukumnya maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan untuk tidak mempelajari dan mentaati UUD’45 bab XA tentang HAM ditambah juga keharusan untuk mempelajari dan mentaati deklarasi HAM versi PBB. Hal ini sangat diperlukan karena sifat pelanggaran HAM bisa bersifat vertikal yang umumnya terjadi antara pemerintah yang punya kekuasan terhadap rakyat atau sebaliknya dan juga bisa bersifat horisontal yaitu yang terjadi antara sesama anggota masyarakat baik secara organisasi atau bersifat pribadi.
Dalam penghayatan Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang paling penting dan tidak pernah bisa dijalankan oleh pemerintah adalah supremasi hukum yang tidak pandang bulu seperti diamanatkan oleh UUD ’45 pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

D. Usaha Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila
Prinsip dari pancasila mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Berada di titik strategis persilangan antar benua dan samudra, Indonesia menjadi pelebur antar peradapan yang tidak pernah berhenti menerima pengaruh global, baik yang bersifat positif konstruktif maupun yang negatif-destruktif.
Besarnya kontribusi antar peradaban dalam formasi kebangsaan Indonesia, membuat bangsa Indonesia merasa berterima kasih kepada kemanusiaan universal (humanity) yang mendorongnya berperan aktif dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan baik dalam pergaulan antar bangsa maupun dalam pergaulan nasional (Junanto, 2012: 234).
Merasakan kepedihan dan penderitaan sebagai bangsa yang terjajah selama ratusan tahun lamanya, Indonesia terpanggil untuk melawan sisi negatif-destruktif dari bangsa-bangsa yang merendahkan martabat kemanusiaan sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Lebih jauh lagi, dalam pidato Bung Hatta yang tersohor di depan sidang pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, Bung Hatta juga menampilkan wacana tentang “prinsip kesamaan” kemanusiaan antar bangsa. Wacana ini juga dilancarka oleh Soewardi Soerjaningrat kala menulis  Als Ikeens Nederlander Was atau oleh Bung Karno kala menyampaikan risalahnya yang terkenal” Indonesia menggugat” pada tahun 1926.Bung Hatta bahkan telah melontarkan kritik tajam mengenai pelanggaran kemanusiaan. Di zaman itu, bangsa-bangsa Eropa dengan berbagai cara memang selalu mengumandangkan superioritasnya atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Penjajahan senantiasa bertumpu di atas asumsi perbedaan derajat antar bangsa. Sebaliknya, bangsa-bangsa terjajah yang ingin melawan sosok penjajah itu bertumpu diatas asumsi kesederajatan antar bangsa egalitarianisme antar umat manusia ( Noor, 2006: 98).
Maka tidak  mengherankan  kalau spirit humanitarianisme dan egalitarianisme itu pun muncul bersamaan dengan spirit nasionalisme yang tumbuh dalam alam pikir yang tengah bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan derajat atau superioritas suatu bangsa di atas bangsa yang lain. Spirit itu kemudian tercermin pada pembukaan UUD 1945. Hal pertama yang dinyatakan dalam pembukaan tersebut adalah mengaitkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan kemanusiaan universal. Dalam alinea pertama dikatakan “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu , maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan(Yudhi, 2011: 237).
Rangkaian kata itu menunjukkan sikap kosmopolitan adalah seruan lantang pesan egalitarianisme dari sebuah bangsa yang baru menyatakan kemerdekaannya. Sejak berdirinya republik ini, para pendiri bangsa telah menekankan unsur-unsur penting yana harus dijunjung tinggi oleh sebuah bangsa yang merdeka dan beradab, yakni: kemanusiaan, keadilan, dan penghargaan antar bangsa yang berarti pula penghormatan terhadap internasionalisme. “kita bukan saja  harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus Menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa,”kata Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Dengan demikian, sejak awal berdirinya , Indonesia dibangun atas kesadaran internasionalisme. Tetapi paham internasionalisme itu juga diberi sentuhan dan bobot spirit egalitarianisme. Kesadaran akan kesamaan dan kesederajatan antar bangsa yang dilandasi oleh penghargaan atas martabat manusia dan saling hormat antar sesama warga negara dan umat manusia. Karena itu, dengan tegas hendak diperjuangkan kesadaran bahwa penjajahan harus dihapuskan dan ketidakadilan harus disingkirkan.
Nasionalisme Indonesia, memperjuangkan kesamaan kemanusiaan. Nasionalisme yang berperikemanusiaan inilah yang akhirnya secara utuh dan cemerlang dalam  (sila kedua) pancasila. Dalam rumusan sila kedua, cita-cita kemanusiaan menjadi jiwa kemerdekaan. Hal ini sejalan dengan semangat dan prinsip para pendiri bangsa. Pemikiran mereka kebanyakan cenderung tentang kemanusiaan. Pada diri Bung Karno, terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan dan kegotong-royongan. Pada sosok Muhammad Hatta, terjelma personifikasi cita-cita kedaulatan rakyat dan egalitarianisme. Pada diri Tan Malaka, tampak sesososk ideal Indonesia yang bebas. Pada diri Natsir, terpancar ideal Indonesia yang religius. Penghargaan yang tinggi terhadap cita-cita kemanusiaan yang berbudaya dan beradab adalah pancaran dari pikiran-pikiran mereka yang cemerlang mengenai Indonesia seperti apa yang diidamkan. Kebanyakan dari perdebatan mereka pada awal kemerdekaan menunjukkan bahwa mereka adala bangsa yang cinta damai dan sekaligus cinta kemerdekaan. Mereka tidak hanya berbicara tentang bentuk negara ideal dan arah yang akan dituju, tetapi mereka juga memikirkan dalam-dalam bagaimana bangsa Indonesia bisa tumbuh sebagai pribadi yang menjadi warganegara yang berbudaya dan bisa mengembangkan potensi dan kapasitas dirinya di pentas dunia (Muhammad, 2001: 77).
Sebagai falsafah negara yang menjiwai konstitusi kita, pancasila merupakan lambang sejarah yang membela prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan dan kesederajatan dalam hubungan antar manusia dan antarbangsa itu adalah jiwa dari sila kemanusiaan. Demi tegaknya persamaan kemanusiaan dalam pergaulan nasional dan antar bangsa, kata kemanusiaan dalam sila kedua itu mengandung sifat yang mulia yakni adil sekaligus juga beradab. Relasi kemanusiaan antar bangsa harus dilandaskan pada niai-nilai kesederajatan sebagai makhluk Tuhan dan menjunjung nilai-nilai keadaban sebagai capaian-capaian terpuji dari peradaban manusia.
Dalam rangka memenuhi sifat adil, Bung Hatta mengingatkan,yang harus disempurnakan dalam pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila kemanusiaan  yang adil dan berdab langsung terletak dibawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dalam pergaulan hidup dalam segala hubungan manusia satu sama lain harus berlaku rasa persaudaraan. Persaudaraan itu menembus batas nasional, yang meliputi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan dalam pergaulan antar bangsa. Kalimat kemanusiaan yang adil dan beradab adalah satu kesatuan yang harus diucapkan dalam satu tarikan nafas, untuk bisa memahaminya secara utuh, kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini adalah kemanusiaan yang adil dan beradab dalam berbagai hal ( Yudhi, 2011: 58).
 Sila kedua menunjukkan kepada nilai-nilai dasar manusia yang diterjemahkan dalam hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Nilai- nilai manusiawi merupakan dasar dari apa yang sekarang disebut sebagai hak asasi manusia. Semuanya itu terkait dengan hakikatnya sebagai manusia bukan karena keanggotaanya dalam suatu kebudayaan. Kini, hanya bangsa yang menghargai hak-hak asasi manusialah yang dianggap sebagai bangsa yang beradab, bahkan perilaku beradab dari berperikemanusiaan menjadi wujud standar bagi keanggotaan dalam masyarakat internasional.

  BAB III
PENUTUP

A.      Kesinpulan
Kemanusiaan universal adalah bahwa manusia memiliki harkat dan martabat sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, mempunyai persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban. bahwa Pancasila ini merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa yang pernah menjajah Indonesia, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme yang dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber.
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan Beradab dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide Pancasila  Bung Karno  yang hidup di masa penjajahan Belanda merasa ada perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi atau mayoritas bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu dan lain cara. Usaha untuk membumikan kemanusiaan dalam kerangka pancasila adalah dengan menumbuhkan spirit nasionalisme dalam alam pikir yang tengah bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan derajat, kesadaran akan kesamaan dan kesederajatan antar bangsa yang dilandasi oleh penghargaan atas martabat manusia dan saling hormat antar sesama warga negara dan umat manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: Press.
Bakry, Noor. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Choir, Much Abdul. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan di Pergurun Tinggi. Sukoharjo: Pustaka Abadi Sejahtera.
Junanto, Subar. 2012. Pendidikan Pancasila. Surakarta: Pustaka Media.
Lathif, Yudhi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Ubaidillah, Ahmad. 2000. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press.


PERBEDAAN PENDAPAT DAN ALIRAN-ALIRAN FIQIH


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang

Perbedaan pendapat merupakan suatu hal yang wajar dalam kehidupan manusia. Dalam kaitannya dengan Islam, paling tidak ini menunjukkan kerealistisannya sebagai sebuah agama yang memperlakukan manusia sebagai manusia yang memiliki perbedaan antara satu dengan lainnya dalam hal tingkat kemampuan, pengetahuan dan pemahaman. Setelah masa-masa kenabian perbedaan pola pandang di kalangan sahabat sering terjadi, akan tetapi perbedaan tersebut tidak timbul dari kelemahan akidah, atau keraguan terhadap kebenaran ajaran Rasulullah saw, melainkan semata-mata karena keinginan yang kuat untuk merumuskan hukum-hukum yang sesuai dengan kehendak Allah SWT.
            Kita lihat berdasar kejadian-kejadian yang ada, bahwa semua faktor yang melatarbelakangi perbedaan di kalangan sahabat tidak keluar dari perbedaan pemahaman terhadap teks karena faktor-faktor lughawiyah atau ijtihadiyah, yaitu dalam manafsirkan ayat-ayat al-Qur`an dan hadits-hadits Nabi saw, namun di balik faktor-faktor tersebut sama sekali tidak ada maksud-maksud tersembunyi yang sengaja diupayakan untuk menumbuhkan benih pertentangan, dan secara natural ada beberapa faktor perbedaan yang berpindah-pindah dari satu masa ke masa yang lain, sehingga sulit untuk dibangun semacam pagar-pagar pemisah antara faktor-faktor satu masa dengan masa yang lainnya. Namun di sana terdapat beberapa hal baru dalam dunia Islam yang memunculkan unsur berbeda.     
Karena banyaknya kelompok yang bermunculan, maka metode pemikiran juga semakin banyak, yang mana setiap aliran mempunyai pijakan-pijakan atau kaidah-kaidah tersendiri yang digunakan dalam berinteraksi dengan teks-teks agama serta menafsirkan sumber-sumber syari’at dan menyikapi berbagai problem baru yang muncul.

      B.  Rumusan Masalah
1.      Apa saja penyebab perbedaan pendapat dikalangan sahabat Nabi saw, tabi’in, dan para ulama fiqih?
2.      Apa saja aliran –aliran dalam fiqih?
3.      Bagaimana cara menyingkapi aliran-aliran dalam fiqih?



BAB II
PEMBAHASAN

         A. Perpedaan Pendapat Dalam Fiqih

Perbedaan dalam bahasa Arab dikenal dengan kata Ikhtilaf atau Khilaf. Perbedaan pendapat dalam fiqih merupakan perbedaan yang disebabkan oleh perbedaan akal pikiran, karena bila ditinjau dari sebab-sebabnya secara global, perbedaaan itu dibagi dua, yaitu perbedaan yang disebabkan budi pekerti (moral) dan perbedaan yang disebabkan akal pikiran. Perbedaan yang disebabkan moral biasanya dikarenakan terlalu menganggap cukup dengan melihat permukaan suatu masalah saja dan tidak mau mendalami dengan seksama dan teliti, seperti Su’uzhon dengan orang lain, fanatik terhadap pendapat seseorang atau mazhab dan golongan tertentu.
Adapun perbedaan yang disebabkan akal pikiran adalah perbedaan pandangan dalam suatu masalah, baik masalah ilmiah seperti perbedaan dalam cabang-cabang syari’at Islam, atau bersifat aqidah, dan lain-lain. Perbedaan itu dikarenakan perbedaan kemampuan akal ditambah pengaruh-pengaruh sampingan yang mempengaruhi akal seperti lingkungan, zaman, situasi, dan kondisi. Maka perbedaan dalam fiqih merupakan sesuatu yang pasti terjadi, karena tabiatnya agama, bahasa, manusia juga tabiatnya alam kehidupan.
Perbedaan dalam fiqih ini, tidak hanya dianggap sebagai hal yang lazim dan rahmat, namun juga bisa merupakan harta karun warisan yang amat berharga, karena perbedaan pendapat para ulama adalah peninggalan yang bisa dijadikan bahan kajian bagi perkembangan fiqih itu sendiri di masa-masa mendatang, juga bahan pertimbangan dan masukan yang tidak sedikit nilainya. Perbedaan dalam fiqih dengan banyaknya mazhab ini tidak bisa dilepaskan secara historis dari masa-masa lampau, ketika masa para sahabat Nabi saw, tabi’in dan seterusnya sampai terbentuknya berbagai macam mazhab fiqih, sehingga masa sekarang ini, dimana taqlid kepada salah satu mazhab atau beberapa mazhab masih diperlukan, walau ijtihad tetap boleh dilakukan. Berikut ini adalah beberapa contoh perbedaan pendapat dan sebab-sebabnya.

1.    Kalangan Sahabat-sahabat Nabi Muhammad saw
Perbedaan pendapat di kalangan para sahabat Nabi saw dalam berbagai bidang, khususnya hukum islam sangat nyata dan luas sepeninggal Nabi saw, namun bukan  berarti ketika Nabi saw masih hidup tidak ada perbedaan antara mereka dalam masalah-masalah hukum. Satu contoh kasus adalah: sebuah riwayat hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad saw pada saat perang Ahzab: “memerintahkan agar para sahabatnya tidak melakukan sholat Ashar kecuali di kampung Bani Quraizhoh”. Sebagian diantara mereka ada yang masih dalam perjalanan dan telah tiba waktu sholat Ashar, maka diantara mereka ada yang berpendapat bahwa shalat Ashar harus dilakukan di Kampung Bani Quraizhoh (karena Rasul saw melarangnya kecuali telah sampai di tempat itu), sedangkan sebagian yang lain melakukan shalat Ashar di perjalanan. Perbedaan pendapat tersebut disampaikan kepada Rasulallah saw dan beliau tidak mencela salah satu dari kedua kelompok tersebut, artinya beliau membenarkan keduanya.
Perbedaan antara para sahabat Nabi saw dalam masalah fiqih semakin nampak dan meluas, karena mereka tidak memiliki tempat bertanya dan meminta fatwa setelah Nabi Muhammad saw wafat, padahal islam semakin tersebar luas ke berbagai penjuru dunia yang juga berdampak pada banyaknya persoalan baru yang tidak didapat nashnya dalam Al-qur’an dan al-sunnah. Hal inilah yang mendorong al-Khulafa al-Rasyidun dan sahabat Nabi saw lainya untuk berijtihad guna menetapkan hukum yang jelas bagi berbagai permasalahan yang ada.
Di antara perbedaan pendapat yang terjadi pada masa sahabat Nabi saw sepeninggal Nabi saw adalah seperti perbedaan yang terjadi antara Abu Bakar dan Umar bin Khattab dalam hal memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat, antara beberapa sahabat Nabi saw dalam hal meng-qishas sekelompok orang yang telah membunuh satu orang.

2.    Kalangan Tabi’in (Pengikut-pengikut para Sahabat Nabi)
Perbedaan pendapat pada masa ini disebabkan para tabi’in belajar dari beberapa sahabat yang berbeda dengan berbagai macam pendapat yang berbeda pula, maka tidak heran jika kemudian ijtihad-ijtihad fiqih pada masa tabi’in ini akan berbeda pula satu dengan yang lainya. Pada masa ini perbedaan pendapat yang ada lebih banyak dipicu oleh pertentangan antara dua kelompok, yaitu: Ahl al-Ra’yi (wilayah Irak) dan Ahl al-Hadits (wilayah Hijaz).
Misalnya perbedaan dalam memandang dan memahami hadits tentang: “ Kewajiban mengeluarkan zakat berupa satu kambing dari setiap 40 kambing” juga tentang: “ Kewajiban zakat fitrah sebanyak satu Sho’ (dua setengah kilogram) kurma atau gandum”yang dalam hal ini ulama Irak (ahl al-Ra’yi) memahami hadits-hadits di atas dengan melibatkan pertimbangan akal dan mencari maksud atau tujuan persyari’atanya, yaitu pemilik 40 kambing wajib untuk membayar zakatnya kepada fakir miskin dan ashnaf (golongan) lainya berupa satu kambing atau yang sebanding denganya (seperti uang dan lain-lain), begitu juga dengan zakat fitrah, tidak harus berupa kurma atau gandum (makanan pokok) tetapi boleh dengan yang lainya yang sebanding nilai dan harganya (uang misalnya).
Adapun ulama Hijaz (ahl al-Hadits) memahami nash-nash ini apa adanya, sesuai dengan tekstualitas lafaznya dan tidak mau bersusah payah mencari ‘illat hukumnya juga tidak mau mencari takwil lewat ‘illat yang dipahami melalui naluri akal sehat, maka mereka membatasinya dengan kambing, kurma atau gandum saja, dan tidak menganggap sah dengan sesuatu yang lain walaupun nilai dan harganya sama sebanding.
Maka pada hakikatnya perbedaan antara kedua kelompok ini lebih didasarkan pada perbedaan cara pandang dalam memahami nash-nash agama (Al-qur’an dan as-sunah), ahl al-Ra’yi berpendapat bahwa hukum-hukum syari’at itu tergolong ta’aquli (bisa dipahami secara akal) yang inti dari penetapan syari’at itu adalah terwujudnya kemaslahatan manusia, maka tidak mungkin ada syari’at yang bertentangan dengan tujuan mulia itu (maslahat). Jadi penggunaan ra’yu bisa dibenarkan dalam penetapan syari’at bilamana kemaslahatan adalah tujuannya. Sedangkan al- Hadits tidak mau bersusah payah mencari ‘illat hukum dari penetapan syari’at, karena mereka lebih mengandalkan hafalan hadits-hadits yang banyak terdapat di Hijaz dan memegang fatwa-fatwa sahabat sebagai bahan rujukan untuk memahami nash-nash hukum, maka mereka tidak mau peduli jika ada nash yang bertentangan dengan akal dan rasio mereka dan mereka tidak mau menggunakan ra’yu kecuali sudah mendesak dan sangat terpaksa sekali.

3.      Kalangan Ulama Fiqih (Para Mujtahid)
Mulai awal abad 2 Hijriyah sampai pertengahan abad 4 Hijriyah (mulai dari akhir dinasti Umaiyah sampai puncak kejayaan dinasti Abbasiyah) merupakan masa berkembangnya sunnah dan fiqih, sehingga muncul beberapa Imam Mujtahid yang pendapatnya (mazhab) dibukukan dan dipanuti banyak orang dan oleh mayoritas ulama Islam mereka diakui bahkan dijadikan acuan dalam berijtihad dan rujukan dalam berfatwa.
Mazhab-mazhab yang ada pada periode ini tetap berotasi di antara mazhab ahl al-Hadits dan mazhab ahl al-Ra’yi (dua mazhab fiqih yang berkembang pada masa tabi’in), namun ada juga yang mengambil jalan tengah di antara kedua mazhab yang berbeda itu, seperti mazhab Imam Syafi’i. Hal ini disebabkan karena Imam Syafi’i belajar dari tokoh-tokoh kedua mazhab itu, yaitu pada Imam Malik di Madinah (tokoh sentral ahl al-Hadits) dan pada Imam Hanafi (tokoh sentral ahl al-Ra’yi).
Adanya perbedaan pendapat antara para mujtahid adalah karena adanya perbedaan dalam hal menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkatan validitasnya, perbedaan dalam hal memahami sebuah nash dan upaya menggali hikmah atau ‘illat didalam nash itu, dan perbedaan ijtihad dalam suatu masalah yang tidak ditemukan nashnya baik secara tekstual atau kontekstual.
B. Aliran –aliran dalam fiqih
 Aliran yang mula-mula timbul dalam fiqih islam antara lain adalah aliran ahlul hadits (aliran tradisionalisme) dan aliran ahlu ra’yi atau ahlul qiyas (aliran rationalisme) kemudian berkembang aliran-aliran yang lain.
1.      Aliran Ahlul Hadits (aliran tradisionalisme)
 Ahlul hadits adalah golongan ulama fiqih yang berpegang hanya kepada  al- qur’an dan as-sunnah saja. Ahlul hadits ini dalam perkembangannya, terbagi dalam beberapa aliran, antara lain :
a. Aliran Malikiyah, ialah  pengikut Imam Malik bin Anas (penganut    mazhab maliki)
b. Aliran Syafi’iyah, ialah pengikut Imam Muhammad bin Idris as- Syafi’i (pengikut mazhab Syafi’i)
c. Aliran Hambaliyah, ialah pengikut Imam Ahmad bin Hambal (penganut mazhab Hambali)
d. Aliran Zhahiriyah, ialah pengikut Daud bin al-Azhahiri (penganut mazhab Azhahiry)
Tempat kelahiran ahlul hadits ini di Hijaz, daerah kota mekah. Di sinilah nabi Muhammad SAW mengembangkan ajaran islam dan terus ke madinah. Pelopor ahlul hadits tersebut adalah Sa’ad bim Musayyab. Beliau terkenal seorang ahli Qira-at/fuqaha, di samping itu juga seorang pemimpin golongan tabi’in.  Ahlul hadits ini berkembang di Hijaz dan di latar belakangi karena penduduk Hijaz tersebut lebih banyak mengenal hadits rasul, lebih mengetahui perbuatan dan ketetapan rasul. Aliran ahlul hadits ini selanjutnya dikenal dengan nama “Madrasah Hadits”.
Madrasah Hadits ini, tidak diyakini dan dipelihara oleh para fuqaha-fuqaha di negeri Hijaz dan Madinah saja, tetapi juga terdapat di daerah lainnya yaitu di Kuffah, Syam,dan Mesir.

2.      Aliran Ahlul Ra’yu atau Ahlul Qiyas (Aliran Rasionalisme)
Aliran Ahlul Ra’yu/ ahlul qiyas adalah golongan ulama fiqh islam yang  berpegang kepada hasil penelitian (Ra’yi) atau kepada Qiyas (hasil ijma’). Ahlul Ra’yu ini kemudian terkenal dengan aliran Madrasah, pengikutnya yaitu Hanafiah, ialah pengikut Imam Abu Hanifah dengan mazhabnya “Hanafi”. Berkembangnya di Iraq. Pelopornya yang terkenal adalah Ibrahim bin Yazid bin Qais An-Nachaiy.

3.    Ahlussunnah wal Jama’ah.
Suatu aliran yang  penganut sunnah Nabi SAW dan al-jama’ah berarti penganut i’tiqad sahabat-sahabat nabi. Jadi yang dimaksud dengan kaum Ahlussunnah Waljamaah adalah kaum yang menganut i’tiqad dan amaliyah Nabi saw dan sahabat-sahabat beliau. Hal ini dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Ali Al Asy’ari (Basrah 260-324 H), dan muridnya Abu Manshur Al-Maturidi yang terkenal dan kemudian menjadi ulama di bidang yang sama.
Sedangkan dalam bidang furu’iyah (fiqh) corak berfikirnya lebih cenderung memakai metode berfikir  persyaratan penerimaan Hadits apabila perawinya adil dan cermat (dhabith) sampai ke akhir sanad tanpa adanya kelainan dan cacat baik perawinya dari Ahlu al-Bait atau tidak. yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus oleh sebagian besar ulama di seluruh dunia.
Termasuk kaum Aswaja dalam bidang fiqh adalah menganut salah satu dari mazhab empat itu, yaitu Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Keempat mazhab ini dalam metode berfikirnya berbeda sehingga masing-masing mereka berbeda dalam memakai metode istinbath ijtihad sebagaimana dapat dilihat dalam kitab-kitab Fiqh dan Ushul Fiqh mereka.

4. Mazhab Ahli Zahir
Suatu aliran yang mempunyai ciri-ciri berfikirnya pengamalan teks literal dari Al Quran dan Sunnah tanpa dibarengi penafsiran terhadapnya, kecuali apabila ada dalil yang memerintahkan penggunaan pengertian selain makna lahiriyah. Apabila tidak didapatkan nash, mereka berpegang kepada ijmak. Mereka menolak jalan qiyas secara tegas dengan alasan bahwa Al Quran dan Hadis terdapat sandi-sandi dan sendi-sendi yang mencukupi segala masalah. Pemikir mazhab ini yang termashur adalah Ibn Hazm dalam kitabnya yang terkenal dalam bidang Fiqh  al-Muhalla, dalam lapangan Ushul Fiqh yaitu al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam.

5.  Aliran yang berdasarkan politik (Khawarij dan Syi’ah)
Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, timbul aliran-aliran yang berdasarkan politik yaitu Khawarij dan Syi’ah. Sebab-sebab timbulnya Aliran yang berdasarkan politik :
1.      Perbedaan  pendapat mengenai siapa yang akan melaksanakan pemerintahan sesudah nabi.
2.      Hasutan seorang yahudi.
Pengangkatan Abu Bakar menjadi khalifah secara lahir dapat disetujui oleh para sahabat, tetapi ada golongan yang tidak senang dan menginginkan agar Khalifah dari keluarga Rasul, yaitu Ali. Ini menjadi dendam oleh golongan ini. Sesudah masa pemerintahan Usman, baru lahir prinsip mereka hingga terjadi perang saudara dan berusaha menjatuhkan kekuasaan Usman.
 Kesempatan tersebut dimanfaatkan seorang yahudi yang berasal dari Yaman yaitu Abdullah bin Saba’. Dia berusaha menyalakan api fitnah, hingga Khalifah Usman akhirnya terbunuh dan Ali pun dibai’atkan menjadi khalifah. Walaupun saat itu Thalhah, Zubair, dan Muawiyah  menentang Ali, menuduh Ali melindungi pembunuhan Khalifah Usman,  karena Ali tidak menangkap pembunuh-pembunuh Usman, bahkan menerima mereka bergabung dalam laskarnya.
Karena pertentangan itu terjadilah peperangan saudara, perang Al Jamal. Dalam perang ini Thalhah dan Zubair meninggal, dan Muawiyah sesudah kewalahan dalam perang shiffin (37 H), menyuruh tentaranya mengangkat mushaf di ujung tombaknya untuk menerima tahkim. Karena siasat permintaan tahkim , golongan Ali menjadi pecah dua, ada yang menerima dan ada yang menolak. Golongan yang menolak dinamakan golongan Khawarij dan golongan penyokong Ali disebut Syiah.
a.    Khawarij
 Golongan Khawarij menjadi pemberontak, menentang Syi’ah, dengan alasan :
1.    Khalifah harus dipilih secara merdeka dan tidak mutlak satu orang, tetapi boleh ada di      setiap daerah.
2.    Mengerjakan perintah agama menjadi rukun iman, sebab siapa yang beriman kepada         Allah dan Rosul-Nya, tetapi tidak mau mengerjakan perintah-Nya, dipandang kafir.
                   Mereka mempunyai corak fiqih tersendiri, yaitu sebagai berikut :
1.    Seseorang yang akan sembahyang harus suci badan, hati, dan lidah. Orang yang memaki orang lain dipandang tidak suci.
2.    Pezina muhson tidak dirajam, tapi hanya cukup dijilid saja.
3.    Perkawinan yang diharamkan hanya terbatas menurut nash saja.
Kemudian Khawarij ini terpecah lagi atas golongan Iyadhiyah, Az-Zariqah, Najdiyah, dan Shafariyah.
b.   Syi’ah
Suatu aliran dalam Islam yang menyakini bahwa Ali bin Abi Thalib dan keturunannya adalah imam-imam atau para pemimpin agama dan umat setelah Nabi Muhammad SAW. Dari segi bahasa, kata Syiah berarti pengikut, kelompok atau golongan, selain mengembangkan keturunan dalam bidang teologi, mereka juga mengembangkan pemikiran dalam bidang hukum.
Fiqh Syi’ah walaupun berdasarkan Al Quran dan Hadis namun berbeda dengan Fiqh Jumhur Ulama, diantaranya :
1. Fiqh yang berdasarkan kepada tafsir dan hadis yang sesuai dengan pendirian mereka, mereka tidak menerima tafsir dan hadits dari golongan lain.
2.  Fiqh mereka tidak menerima ijma’ dan qiyas, sebab orang-orang yang mengadakan ijma’ itu berasal dari para sahabat yang menjadi lawan politiknya, Mereka menolak qiyas, karena qiyas itu adalah hasil daya fikir, mereka berpendapat bahwa agama itu diambil dari Allah dan Rasul-Nya, serta dari imam-imam yang mereka ikuti.
Syi’ah terpecah menjadi beberapa golongan di antaranya :
1. Golongan Kaisaniyah yang berpendapat Muhamamd bin Ali dikenal   dengan nama Ibnul Hanafiah sebagai Imam Mahdy.
2. Golongan Zaidiyah kitabnya yang terkenal dalam bidang fiqh adalah Al-Majmu’. Seperti juga mazhab Imamiyah, mereka hanya bersandar pada Hadis yang diriwayatkan oleh golongan  Syi’ah. Mazhab ini merupakan mazhab dalam Syi’ah hanya memiliki sedikit perbedaan dengan Ahlusunnah.
3. Golongan Imamiyah, dikepalai oleh Ja’far Ash Shadiq / imamiyah Itsna’asyriyah. Dalam menetapkan hukum mengambil sumber Al Quran dan Hadis serta ucapan para Imam, mereka tidak menerima ijtihad dengan ra’yu dan mengambil hukum-hukum itu dari Imam yang ma’sum. Sebagi konsekuensinya mereka menolak ijmak dan qiyas. Fiqhnya sangat dipengaruhi oleh politik, seperti mereka tidak memperkenankan orang menjalankan shalat qashar bagi musafir kalau ia menuju Makkah.


C. Menyikapi aliran-aliran (mazhab)
1.      Mazhab Ahlu Hadis hanya menetakan hukum Islam lebih memfokuskan mengambil dalilnya dari nash Al-Quran dan Hadits, mereka tidak menggunakan ijtihad atau ra’yu, kecuali diwaktu sangat darurat, padahal tidak semua persoalan dapat dipecahkan dengan zahir ayat dan hadits, maka untuk mengetahui maskud nash perlu ijtihad dan ra’yu.
2.      Mazhab Ahlu Ra’yu sangat relevan dengan perkembangan hukum dalam masyarakat karena mereka berpendapat bahwa hukum-hukum Islam dapat difahamkan maknanya dari Al Quran dan Hadis, melengkapi maslahat yang kembali kepada hamba, mereka membahas ‘illat-‘illat dan hikmah-hikmah hukum, yang berarti bahwa hukum dapat menjawab persoalan yang timbul karena didasarkan kepada ‘illat dan hikmah.
3.    Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah bidang furu’iyah (fiqh) ada empat mazhab yang diakui ijtihadnya oleh umat Islam seluruh dunia dan hasil ijtihadnya itu diikuti terus tanpa terputus, mazhab ini merupakan mazhab yang rasional dan moderat, oleh karenanya mazhab mudah diterima oleh mayoritas umat Islam, walaupun dalam aplikasinya ada beberapa perbedaan.
4.      Mazhab Ahli Zahir dalam menetapkan hukum, apabila tidak didapati nash Al Quran dan Sunnah, maka mereka mengambil ijma’ seluruh umat manusia. Jelas syarat ini tidak mungkin terwujud, dengan demikian maka sebenarnya mazhab ini menolak ijma’. Sedangkan qiyas mereka tolak, akan tetapi kenyataan dalam prakteknya, mazhab ini juga menerima konsep analogi (qiyas).
5.      Mazhab Syi’ah, aliran fiqhnya ternyata sarat dengan politik, seperti pelaksanaan shalat qashar yang hanya dibolehkan ketika berjalan menuju makkah, madinah, kuffah dan Karbela. Aliran ini bersifat ekslusif sehingga tidak mau menerima pendapat imam yang lain.

BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1.       Perbedaan antara para sahabat Nabi saw karena mereka tidak memiliki tempat bertanya dan meminta fatwa setelah Nabi Muhammad saw wafat, padahal islam semakin tersebar luas ke berbagai penjuru dunia yang juga berdampak pada banyaknya persoalan baru yang tidak didapat nashnya dalam Al-qur’an dan al-sunnah. Perbedaan pendapat pada masa tabi’in disebabkan para tabi’in belajar dari beberapa sahabat yang berbeda dengan berbagai macam pendapat yang berbeda pula, maka tidak heran jika kemudian ijtihad-ijtihad fiqih pada masa tabi’in ini akan berbeda pula satu dengan yang lainya. Sedangkan perbedaan pendapat antara para ulama fiqih (mujtahid) adalah karena adanya perbedaan dalam hal menetapkan adanya sebuah nash dan mengukur tingkatan validitasnya, perbedaan dalam hal memahami sebuah nash dan upaya menggali hikmah atau ‘illat didalam nash itu, dan perbedaan ijtihad dalam suatu masalah yang tidak ditemukan nashnya baik secara tekstual atau kontekstual.
2.      Aliran-aliran dalam fiqih antara lain: aliran ahlul Hadits (aliran tradisional), aliran ahlul Ra’yu atau ahlul Qiyas (aliran rasionalisme),aliran ahlussunah wal jama’ah, mazhab ahli zahir, dan aliran yang berdasarkan politik (khawarij dan syi’ah).
3.      Cara menyikapi aliran –aliran dalam fiqih adalah

 DAFTAR PUSTAKA
Arfan, Abbas. 2008. Geneologi Pluralitas Mazhab dalam Hukum Islam. Malang: UIN Malang Pers.
Bakry, Nazar. 1996. Fiqih dan Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Raja Grafindo.
Djatnika, Rachmat, et al. 1986. Perkembangan fiqih di Dunia Islam. Jakarta: Depag RI.
Siny, Mun’im A. 2006. Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar. Surabaya: Risalah Gusti.
Syihab, Umar.1996. Hukum Islam dan Transformasi Pemikiran. Jakarta: PT. Dina Utama (Toha Putra Group).
Yanggo, Huzaemah T. 1997. Pengantar Perbandingan Mazhab. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.