Journalism



Thesis as The Final Task for University Student

Thesis is a dissertation advancing an original point of view as a result of research, especially as a requirement for an academic degree. Every university student should make a thesis. Before they make the thesis, they must pass all the courses.
 The State Islamis Institute of Surakarta (IAIN) will held the graduation (XXX) on April 11, 2015. In this recent months, a lot of the university students from the last semester in The State Islamic Institute of Surakarta (IAIN) go to the library. They utilize their free time in the library to look for the references because they have the duty to write the thesis.
Adjit Panji Surya, one of the university students from English Letters the 9th semester, has registered his thesis since he was in the 8th semester. He said, “ I have the target before 2014 is end, I must finish my thesis”. So, he utilizes his free time to read and look for the references that are related to his thesis in the library in order he can graduate in the next year.
The laziness is one of the problems that experienced by the university students in doing the thesis. Many of the university students who are writing the thesis considers that thesis is a difficult task. Making the thesis also takes a great deal of time and effort. It causes some of them do not have the motivation and delay the preparation of the thesis.
 Adjit said, “Sometimes I feel spirit and sometimes I feel so lazy, but when I remembered that I have deadline to finish my thesis I feel more spirit”. “I force myself to fight the laziness so I can finish my thesis as soon as possible,” he continued. The help and the support from the lecturer, friends and parent are also very important. It can give the motivation for the university students in doing the thesis.
However, although they assume thesis is a difficult task they have to write the thesis in order they can graduate from their university. Because thesis is one of the graduation requirement.

KEMANUSIAAN UNIVERSAL


BAB I
PENDAHULUAN

    A.   Latar Belakang
Masalah kemanusiaan semakin rumit. Padahal telah banyak catatan dan kisah yang menceritakan revolusi-revolusi yang ingin menghancurkan kebobrokan kemanusiaan dan membangun kemanusiaan baru. Akan tetapi, semuanya  seperti sebuah cerita yang hambar, karena yang dihancurkan tampaknya tidak hancur seluruhnya dan yang dibangun tidak semuanya mengesankan.
Kita melihat, jika hari ini para buruh menuntut dan protes tentang hak mereka, besok akan muncul protes tentang masalah agama di Cina. Kalau kemarin orang mengutuk pemerintah Cina yang tidak menghargai agama Islam, sekarang akan ada protes tentang hasil pemilu. Jika sekarang berteriak tentang problem pemilu, besok barang kali kita akan menemukan masalah yang baru. Semua ingin memeriakkan hal yang berbeda setiap harinya. Dan itu disebabkan banyaknya dari kita tidak mengakui adanya nilai kemanusiaan yang universal.
Manusia sejatinya ditempatkan pada posisi mulia, dihormati sebagaimana setiap manusia menghormati diri sendiri. Namun, dalam dunia kita sekarang ini, kita sering egois, tidak peduli masalah yang ada disekitar kita. Komunitas basis tampak tidak relevan untuk zaman kita sekarang ini. kita tidak pernah menyadari bahwa sesungguhnya kita ada dan lahir dari satu kemanusiaan , yaitu kemanusiaan universal yang tak seharusnya berpisah menjadi partikular.
Kita juga tahu perubahan itu berasal dari yang partikular. Akan tetapi, perubahan yang sesungguhnya tidak akan pernah terjadi jika hanya dilakukan seorang yang lemah, artinya jika kita merasa berdiri sendiri. Kita harus punya rasa “satu kemanusiaan”.
B.   Rumusan Masalah
1.      Apa definisi dari kemanusiaan universal?
2.      Bagaimana  proses pemikiran humanisme dalam kontruksi kebangsaan Indonesia?
3.      Apa dasar adanya nilai kemanusiaan dalam perumusan pancasila?
4.      Usaha apa saja yang dilakukan untuk membumikan kemanusiaan dalam kerangka pancasila?

                BAB II
PEMBAHASAN


A.    Definisi Kemanusiaan Universal
Kemanusiaan universal adalah  bahwa manusia dibekali akal dan pikiran untuk melakukan segala kegiatan. Oleh karena itulah manusia menjadi makhluk yang paling sempurna dari semua makhluk cipaanNya. Memiliki harkat dan martabat yang sama sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, mempunyai persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban.

B.     Perpektif Historis Pemikiran Humanisme dalam Kontruksi Kebangsaan Indonesia
Sebelum negara Indonesia terbentuk pada 17 Agustus 1945, bentuk pemerintahan adalah kerajaan-kerajaan. Awal abad ke-16 bangsa Eropa seperti Belanda mulai masuk ke Indonesia dan terjadilah perubahan politik kerajaan yang berkaitan dengan perebutan daerah. Kontak dengan bangsa Eropa telah membawa perubahan-perubahan dalam pandangan masyarakat yaitu dengan masuknya paham-paham baru, seperti liberalisme, demokrasi, nasionalisme. Hingga sampai akhirnya Indonesia dapat menumbuhkan jiwa Nasionalisme dan bersatu untuk merdeka(Ahmad, 2000: 45).
Sebagai tindakan lanjut dari janji Kaisar Hirohito yang akan memberikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia maka dibentuklah suatu badan yang bertugas menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan nama Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Muhammad Yamin, Soepomo, Moh. Hatta, dan Soekarno berpidato guna membahas tentang rancangan usulan dasar negara dalam sidang BPUPKI.  Setelah sidang tersebut dibentuklah panitia kecil yaitu panitia sembilan. Panitia sembilan bersidang tanggal 22 Juni 1945 dan menghasilkan kesepakatan yang dituangkan dalam Mukadimah Hukum Dasar. Pada sidang kedua BPUPKI tgl 10 Juli 1945 dibicarakan mengenai materi undang-undang dasar dan penjelasannya. Sidang kedua ini juga berhasil menentukan bentuk negara Indonesia yaitu Republik. Seiring berjalannya waktu, dibentuklah PPKI yang bertugas melanjutkan tugas BPUPKI.
Seiring dengan kekalahan Jepang, para pemuda mendesaak agar kemerdekaan dilaksanakan secepatnya tanpa menunggu persetujuan dari jepang. Dan pada akhirnya Soekarno-Hatta bersedia memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 atas nama bangsa Indonesia (Junanto, 2012: 67).
Sehari setelah Indonesia merdeka, PPKI mengadakan sidang pertamanya. Dalam sidang tersebut terdapat perubahan yang telah dilakukan yaitu perubahan pada sila pertama (tujuh buah kata dihilangkan dan diganti dengan kata-kata Yang Maha Esa) dan beberapa perubahan pada rancangan UUD. Pada saat itu juga Pembukaan Undang-Undang Dasar dan pasal-pasal UUD disahkan menjadi Undang-Undang dasar negara Republik Indonesia. Pada sidang tersebut juga menetapkan Ir. Soekarno dan Moh.Hatta sebagai presiden dan wakil presiden Indonesia. Selanjutnya sidang tersebut juga membicarakan rancangan aturan peralihan.
Dalam pidato Soekarno jelas terlihat bahwa Pancasila ini merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme yang dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Tentu saja kita tidak bisa menutup kemungkinan bahwa salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip Pancasila telah ada dalam masyarakat di Nusantara sebelumnya seperti yang dinyatakan Soekarno. Yang ingin ditunjukkan dari pernyataan dalam pidato ini adalah bahwa spiritualitas yang menjadi domain kedaulatan masyarakat pasca kolonial menjadi bermasalah ketika digunakan untuk mencari akar spiritualitas itu di dalam Pancasila sebagai sebuah ideologi nasional. Masalah tersebut muncul karena ketika kita mencari akar spiritualitas yang diklaim sebagai produk alamiah, yang kita temukan sekali lagi adalah hasil konsep-konsep Barat yang direpresentasikan sebagai sesuatu yang berakar pada budaya lokal. Ini menjadi jelas terlihat jika kita mengamati konsep gotong-royong yang oleh Soekarno disebut sebagai inti dari Pancasila, tetapi jika ditelusuri ke belakang merupakan hasil konstruksi politik kolonialisme ( Ahmad, 2000: 66).
Argumen di atas menunjukkan bahwa nasionalisme Indonesia sebagai sebuah model nasionalisme masyarakat pasca kolonial jauh lebih kompleks dari pada nasionalisme Timur dan Barat maupun dari spiritualitas Timur sebagai satu-satunya wilayah di mana masyarakat pasca kolonial mampu membangun autentitasnya (kealamiahannya). Artinya, domain spiritual dalam nasionalisme Indonesia bagaimanapun diisi oleh elemen-elemen yang melekat erat pada dan lahir dari proses dialektis dengan kolonialisme. Mengklaim bahwa nasionalisme Indonesia berakar secara alami pada budaya lokal tidak memiliki landasan historis yang cukup kuat. Dari sini kita bisa mengambil satu kesimpulan yang tentunya masih dapat diperdebatkan, inspirasi utama. bahwa Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber (Much. Abdul, 2012: 35).
C.    Nilai Kemanusiaan dalam Perumusan Pancasila
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan Beradab dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide Pancasila  Bung Karno  yang hidup di masa penjajahan Belanda merasa ada perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi atau mayoritas bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu dan lain cara.
Jadi dalam alam kemerdekaan sudah seharusnya bangsa Indonesia memperlakukan sesama manusia secara manusiawi, secara adil, dan tidak meniru model penjajahan manusia oleh manusia yang berasal dari budaya masa lalu yang masih biadab. Subtansi ini juga tercermin pada paragraf awal dari pembukaan UUD yang berbunyi: Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.
Kita sebagai manusia diharapkan memperlakukan manusia yang lain seperti kita memperlakukan diri kita sendiri (dalam bahasa yang berbeda masyarakat bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipastikan mempunyai sikap hidup seperti ini). Oleh karena itu bisa juga dikatakan bahwa  Kemanusian Yang Adil dan beradab digali dari budaya bangsa Indonesia sendiri ( Muhammad, 2001: 34).
Pada bahasa modern-nya Kemanusian Yang Adil dan Beradab juga bisa diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak azasi manusia yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dan bangsa Indonesia sudah seharuskan menghargai Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 December, 1948 dan Hak Asasi Manusia atau Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab kemudian secara operational dijabarkan dalam UUD ’45 pasal-pasal tentang HAM yaitu Bab XA yang secara komprehensif telah disisipkan pada amandemen ke 2 UUD’45 tahun 2000 dari Pasal 28A s/d Pasal 28J .
Pelaksanaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang diartikan sebagai penghormatan Bangsa dan Negara terhadap Hak Asasi Manusia harus dibagi dalam dua periode yaitu periode sebelum amandemen 2 tahun 2000 dan sesudahnya. Karena penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia secara formal yuridis punya kekuatan hukum dalam konstitusi baru mulai tahun 2000. Walaupun esensi Kemanusian Yang Adil dan Beradab memang sudah ada sejak ada pada UUD’45  pada pembukaan UUD’45 dan secara umum di pasal 27 dan 28.
Sebagai anggota PBB tentu Indonesia harus juga patuh pada deklarasi hak asasi manusia yang dicanangkan oleh PBB. Tapi realitasnya pada fase pemerintahan Bung Karno dan apalagi pada masa pemerintahan Soeharto banyak sekali peristiwa yang baik pemerintah maupun rakyat Indonesia sama sekali tidak menghiraukan hak asasi manusia.
Hal ini disebabkan sosialiasi deklarasi hak asasi manusia versi PBB tidak pernah dilakukan oleh pemerintah saat itu, tidak pernah diwajibkan baik kalangan pemerintah maupun rakyatnya untuk mempelajari atau mentaati deklarasi hak asasi manusia versi PBB, yang mempelajari hanya terbatas sebagian kecil praktisi hukum maupun LSM yang bergerak dibidang perlindungan HAM. 
Seolah-olah pemerintah saat itu melakukan pembenaran melakukan pelanggaran HAM dikarenakan tidak punya landasan yang kuat yang tercantum di konstitusi atau UUD’45 sebelum amandemen ke 2, tahun 2000. Sebetulnya setelah amandemen ke-2 UUD’45, tahun 2000, tidak ada alasan lagi bagi para pejabat pemerintah terutama para penegak hukumnya maupun rakyat Indonesia secara keseluruhan untuk tidak mempelajari dan mentaati UUD’45 bab XA tentang HAM ditambah juga keharusan untuk mempelajari dan mentaati deklarasi HAM versi PBB. Hal ini sangat diperlukan karena sifat pelanggaran HAM bisa bersifat vertikal yang umumnya terjadi antara pemerintah yang punya kekuasan terhadap rakyat atau sebaliknya dan juga bisa bersifat horisontal yaitu yang terjadi antara sesama anggota masyarakat baik secara organisasi atau bersifat pribadi.
Dalam penghayatan Kemanusian Yang Adil dan Beradab yang paling penting dan tidak pernah bisa dijalankan oleh pemerintah adalah supremasi hukum yang tidak pandang bulu seperti diamanatkan oleh UUD ’45 pasal 28D ayat (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

D. Usaha Membumikan Kemanusiaan dalam Kerangka Pancasila
Prinsip dari pancasila mencerminkan kesadaran bangsa Indonesia sebagai bagian dari kemanusiaan universal. Berada di titik strategis persilangan antar benua dan samudra, Indonesia menjadi pelebur antar peradapan yang tidak pernah berhenti menerima pengaruh global, baik yang bersifat positif konstruktif maupun yang negatif-destruktif.
Besarnya kontribusi antar peradaban dalam formasi kebangsaan Indonesia, membuat bangsa Indonesia merasa berterima kasih kepada kemanusiaan universal (humanity) yang mendorongnya berperan aktif dalam memuliakan nilai-nilai kemanusiaan baik dalam pergaulan antar bangsa maupun dalam pergaulan nasional (Junanto, 2012: 234).
Merasakan kepedihan dan penderitaan sebagai bangsa yang terjajah selama ratusan tahun lamanya, Indonesia terpanggil untuk melawan sisi negatif-destruktif dari bangsa-bangsa yang merendahkan martabat kemanusiaan sejak awal perjuangan kemerdekaan, revolusi Indonesia dipandang sebagai revolusi kemanusiaan. Lebih jauh lagi, dalam pidato Bung Hatta yang tersohor di depan sidang pengadilan Den Haag, 9 Maret 1928, Bung Hatta juga menampilkan wacana tentang “prinsip kesamaan” kemanusiaan antar bangsa. Wacana ini juga dilancarka oleh Soewardi Soerjaningrat kala menulis  Als Ikeens Nederlander Was atau oleh Bung Karno kala menyampaikan risalahnya yang terkenal” Indonesia menggugat” pada tahun 1926.Bung Hatta bahkan telah melontarkan kritik tajam mengenai pelanggaran kemanusiaan. Di zaman itu, bangsa-bangsa Eropa dengan berbagai cara memang selalu mengumandangkan superioritasnya atas bangsa-bangsa yang mereka jajah. Penjajahan senantiasa bertumpu di atas asumsi perbedaan derajat antar bangsa. Sebaliknya, bangsa-bangsa terjajah yang ingin melawan sosok penjajah itu bertumpu diatas asumsi kesederajatan antar bangsa egalitarianisme antar umat manusia ( Noor, 2006: 98).
Maka tidak  mengherankan  kalau spirit humanitarianisme dan egalitarianisme itu pun muncul bersamaan dengan spirit nasionalisme yang tumbuh dalam alam pikir yang tengah bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan derajat atau superioritas suatu bangsa di atas bangsa yang lain. Spirit itu kemudian tercermin pada pembukaan UUD 1945. Hal pertama yang dinyatakan dalam pembukaan tersebut adalah mengaitkan proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan kemanusiaan universal. Dalam alinea pertama dikatakan “ Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu , maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan(Yudhi, 2011: 237).
Rangkaian kata itu menunjukkan sikap kosmopolitan adalah seruan lantang pesan egalitarianisme dari sebuah bangsa yang baru menyatakan kemerdekaannya. Sejak berdirinya republik ini, para pendiri bangsa telah menekankan unsur-unsur penting yana harus dijunjung tinggi oleh sebuah bangsa yang merdeka dan beradab, yakni: kemanusiaan, keadilan, dan penghargaan antar bangsa yang berarti pula penghormatan terhadap internasionalisme. “kita bukan saja  harus mendirikan negara Indonesia merdeka, tetapi kita harus Menuju pula kepada kekeluargaan bangsa-bangsa,”kata Bung Karno pada 1 Juni 1945.
Dengan demikian, sejak awal berdirinya , Indonesia dibangun atas kesadaran internasionalisme. Tetapi paham internasionalisme itu juga diberi sentuhan dan bobot spirit egalitarianisme. Kesadaran akan kesamaan dan kesederajatan antar bangsa yang dilandasi oleh penghargaan atas martabat manusia dan saling hormat antar sesama warga negara dan umat manusia. Karena itu, dengan tegas hendak diperjuangkan kesadaran bahwa penjajahan harus dihapuskan dan ketidakadilan harus disingkirkan.
Nasionalisme Indonesia, memperjuangkan kesamaan kemanusiaan. Nasionalisme yang berperikemanusiaan inilah yang akhirnya secara utuh dan cemerlang dalam  (sila kedua) pancasila. Dalam rumusan sila kedua, cita-cita kemanusiaan menjadi jiwa kemerdekaan. Hal ini sejalan dengan semangat dan prinsip para pendiri bangsa. Pemikiran mereka kebanyakan cenderung tentang kemanusiaan. Pada diri Bung Karno, terpancar personifikasi dari ideal-ideal persatuan dan kegotong-royongan. Pada sosok Muhammad Hatta, terjelma personifikasi cita-cita kedaulatan rakyat dan egalitarianisme. Pada diri Tan Malaka, tampak sesososk ideal Indonesia yang bebas. Pada diri Natsir, terpancar ideal Indonesia yang religius. Penghargaan yang tinggi terhadap cita-cita kemanusiaan yang berbudaya dan beradab adalah pancaran dari pikiran-pikiran mereka yang cemerlang mengenai Indonesia seperti apa yang diidamkan. Kebanyakan dari perdebatan mereka pada awal kemerdekaan menunjukkan bahwa mereka adala bangsa yang cinta damai dan sekaligus cinta kemerdekaan. Mereka tidak hanya berbicara tentang bentuk negara ideal dan arah yang akan dituju, tetapi mereka juga memikirkan dalam-dalam bagaimana bangsa Indonesia bisa tumbuh sebagai pribadi yang menjadi warganegara yang berbudaya dan bisa mengembangkan potensi dan kapasitas dirinya di pentas dunia (Muhammad, 2001: 77).
Sebagai falsafah negara yang menjiwai konstitusi kita, pancasila merupakan lambang sejarah yang membela prinsip kesamaan. Prinsip kesamaan dan kesederajatan dalam hubungan antar manusia dan antarbangsa itu adalah jiwa dari sila kemanusiaan. Demi tegaknya persamaan kemanusiaan dalam pergaulan nasional dan antar bangsa, kata kemanusiaan dalam sila kedua itu mengandung sifat yang mulia yakni adil sekaligus juga beradab. Relasi kemanusiaan antar bangsa harus dilandaskan pada niai-nilai kesederajatan sebagai makhluk Tuhan dan menjunjung nilai-nilai keadaban sebagai capaian-capaian terpuji dari peradaban manusia.
Dalam rangka memenuhi sifat adil, Bung Hatta mengingatkan,yang harus disempurnakan dalam pancasila, ialah kedudukan manusia sebagai hamba Allah, yang satu sama lain harus merasa bersaudara. Oleh karena itu pula sila kemanusiaan  yang adil dan berdab langsung terletak dibawah sila pertama. Dasar kemanusiaan itu harus dilaksanakan dalam pergaulan hidup dalam segala hubungan manusia satu sama lain harus berlaku rasa persaudaraan. Persaudaraan itu menembus batas nasional, yang meliputi kehidupan bermasyarakat, bernegara, dan dalam pergaulan antar bangsa. Kalimat kemanusiaan yang adil dan beradab adalah satu kesatuan yang harus diucapkan dalam satu tarikan nafas, untuk bisa memahaminya secara utuh, kemanusiaan Indonesia yang dicita-citakan oleh para pendiri republik ini adalah kemanusiaan yang adil dan beradab dalam berbagai hal ( Yudhi, 2011: 58).
 Sila kedua menunjukkan kepada nilai-nilai dasar manusia yang diterjemahkan dalam hak asasi manusia, taraf kehidupan yang layak bagi manusia, dan sistem pemerintahan yang demokratis serta adil. Nilai- nilai manusiawi merupakan dasar dari apa yang sekarang disebut sebagai hak asasi manusia. Semuanya itu terkait dengan hakikatnya sebagai manusia bukan karena keanggotaanya dalam suatu kebudayaan. Kini, hanya bangsa yang menghargai hak-hak asasi manusialah yang dianggap sebagai bangsa yang beradab, bahkan perilaku beradab dari berperikemanusiaan menjadi wujud standar bagi keanggotaan dalam masyarakat internasional.

  BAB III
PENUTUP

A.      Kesinpulan
Kemanusiaan universal adalah bahwa manusia memiliki harkat dan martabat sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa, mempunyai persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban. bahwa Pancasila ini merupakan hasil kombinasi dari gagasan pemikiran yang diimpor dari Eropa yang pernah menjajah Indonesia, yakni humanisme, sosialisme, nasionalisme yang dikombinasikan dengan Islamisme yang berasal dari gerakan Islam modern di Timur Tengah. Indonesia baik sebagai konsep bangsa maupun ideologi nasionalisme yang menopangnya adalah produk kolonialisme yang sepenuhnya diilhami oleh semangat modernitas di mana budaya Barat menjadi sumber.
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan Beradab dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide Pancasila  Bung Karno  yang hidup di masa penjajahan Belanda merasa ada perlakuan yang tidak manusiawi dari penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi atau mayoritas bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu dan lain cara. Usaha untuk membumikan kemanusiaan dalam kerangka pancasila adalah dengan menumbuhkan spirit nasionalisme dalam alam pikir yang tengah bergelora untuk menghantam penjajah yang bersandar pada prinsip perbedaan derajat, kesadaran akan kesamaan dan kesederajatan antar bangsa yang dilandasi oleh penghargaan atas martabat manusia dan saling hormat antar sesama warga negara dan umat manusia.



DAFTAR PUSTAKA

Alim, Muhammad. 2001. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945. Yogyakarta: Press.
Bakry, Noor. 2006. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Choir, Much Abdul. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan di Pergurun Tinggi. Sukoharjo: Pustaka Abadi Sejahtera.
Junanto, Subar. 2012. Pendidikan Pancasila. Surakarta: Pustaka Media.
Lathif, Yudhi. 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Ubaidillah, Ahmad. 2000. Pendidikan Kewargaan: Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah Press.